BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik adalah
fenomena yang tidak dapat dihindarkan (invitable phenomenon) dalam kehidupan
manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia
sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok,
organisasi, komunitas dan negara.
Permulaan
sengketa biasanya dari suatu situasi adanya conflic of interest yang berasal
dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi
para pihak.
Pada umumnya perkara
perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan diselesaikan melalui
jalur hukum (pengadilan) dan jalur kekeluargaan (perdamaian). Yang sekiranya
suatu perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka
jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur
pengadilanlah yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
Selain
penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut maka
ada jalur penyelesaian perkara lain yang secara syar’i yang disebut dengan
tahkim. Jalur tahkim ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat memberikan
putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit
persoalan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian dan
Landasan Tahkim (Arbitrase)?
2.
Bagaimana Kekuatan Putusan
dalam Tahkim
(Arbitrase)
3.
Bagaimana Klasifikasi Tahkim
(Arbitrase)?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian dan
landasan Tahkim.
2.
Mengetahui fungsi Tahkim.
3.
Mengetahui klasifikasi
Tahkim.
BAB II
WILAYATAT-TAHKIM
A. Pengertian dan Landasan
Tahkim (Arbitrase)
Dalam ajaran dan tradisi
pemerintahan islam, penyelesaian perkara yang terjadi diantara pihak yang
bersengketa itu bukan hanya monopoli lembaga peradilan. Karena selain lembaga
peradilan (wilayat al-qadha) sebagai lembaga resmi pemerintah, diakui pula
adanya lembaga sukarela, diluar lembaga formal; peradilan. Lembaga seperti ini
sebagai perwujudan lembaga ishlah, yang diprakarsai dan dibentuk masyarakat
yang memerlukan. Menurut Hasbi Ash Sidieqy, dintara lembaga yang termasuk
kedalam kualifikasi lembaga itu adalah tahkim (wilayat at-tahkim) dalam konteks
ini, lembaga tahkim dapat juga disebut dengan media ishlah (arbitrase) karena
berfungsi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara pihak-pihak, yang
dilakukan diluar pengadilan (non-litigasi). Pendekatan penyelesaian yang
digunakan dalam lembagatakim ini sarat dengan nuansa kekeluargaan, sehingga
tidak mengenal pihak-pihak dalam posisi menang atau kalah (lebih-lebih jika
yang menang jadi arang yang kalah jadi abu). Karena itu, keberadaan lembaga ini
sangat membantu tugas-tugas peradilan, bahkan dapat menjadi lembaga alternatif.[1]
Pelembagaan dan penguatan
tahkim itu didasarkan atas legitimasi Al-Qur’an, hadits dan ijma’. Dalam QS.
An-nisa ayat 35 dijelaskan agar perselisihan suami istri (syiqaq) termasuk
istri yang nusyuz diselesaikan secara kekeluargaan.
bÎ)uróOçFøÿÅzs-$s)Ï©$uKÍkÈ]÷t/(#qèWyèö/$$sù$VJs3ymô`ÏiB¾Ï&Î#÷dr&$VJs3ymurô`ÏiB!$ygÎ=÷dr&bÎ)!#y0Ìã$[s»n=ô¹Î)È,Ïjùuqãª!$#!$yJåks]øt/3¨bÎ)©!$#tb%x.$¸JÎ=tã#ZÎ7yzÇÌÎÈ
Artinya: ”Jika kamu
khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal”.
Ayat ini secara
tegas dan tekstual hanya menyatakan eksistensi tahkim dalam bidang hukum.
Sebagaimana dalam sebuah tulisan karya Zaenal Arifin yang berjudul Arbitrase
Dalam Perspektif Islam mengidentifikasi bahwa istilah tahkim dan arbitrase
digunakan secara bergantian, karena pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki
kesamaan makna. Bilamana istilah tahkim berasal dari bahasa arab sedangkan
arbitrase dari bahasa inggris (bahasa latin).
Menurut kamus
Al-munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru
damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim
secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau
juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan
perkara yang mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang
tahkim dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak
sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam.[2]
Istilah
arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Definisi secara terminologi
dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk
arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak.[3]
Tahkim atau
Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata
cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana
menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang
secara hukum final dan mengikat.
Jadi dapat
dibandingkan antara pengertian tahkim menurut hukum islam dan arbitrase menurut
kacamata para ahli jelaslah bahwa tahkim dan arbitrase tidak berbeda dan
hakikatnya serta tujuannnya adalah sama.
Namun secara
tekstual, konsep hukum islam tentang tahkim hanya berlaku dalam masalah
keluarga yaitu dalam persegketaan suami-istri. Sedangkan konsep arbitrase
menurut hukum positif berlaku untuk berbagai bidang komersial seperti halnya
perdagangan, industri bahkan meluas hingga politik dan sebagainya.
Konsep Hukum
Islam mengenai tahkim/ arbitrase bukanlah konsep yang sudah jadi dalam bentuk
aturan hukum, melainkan masih bersifat ideologi yang dapat dikembangkan menjadi
dasar keabsahan arbitrase. Hal itu karena arbitrase tidak pernah dibicarakan
dalam fikih-fikih Islam, selain konsep hakam dalam masalah keluarga.
Dalam ranah
praktik, tahkim sudah pernah dilakukan oleh para sahabat Rasul, walaupun hingga
sekarang dalam Islam belum ada lembaga arbitrase/ tahkim yang menyelesaikan
masalah-masalah perdagangan. Namun jika lembaga itu didirikan, hal itu tidaklah
bertentangan dengan hukum Islam, karena hukum Islam sendiri mengakui keabsahan
arbitrase sebagai penyelesaian sengketa.
Adapun terkait
dengan landasan dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat
disandarkan pada teks hukum yang antara lain terdapat dalam surat An Nisa’ 35, Sementara ayat
lain yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk dijadikan landasan pelaksanaan tahkim
atau arbitrase adalah QS. Al-Hujurat: 9, dan QS. An-Nisa’ ayat 114
dan 128. Dari ayat – ayat di atas dapatlah dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan Hakam dalam ayat ini adalah juru damai diantara kedua suami isteri yang
bersengketa tersebut. Namun demikian kalaupun dasar ini dipakai untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang lain misalnya ekonomi Islam berarti
cara yang digunakan adalah penafsiran Analogi atau Qiyas.
Dalam hal
penyelesaian sengketa lewat lembaga arbitrase tidaklah terlepas dari perjanjian
arbitrase. Perjanjian memilih arbitrase ini dengan keharusan para pihak
menerima keputusan arbiter dan bukan menerima nasihatnya.[4]
Sebagaimana
yang dikutip dalam As-Sunnah Hadis riwayat An-Nasa’i menceritakan dialog
Rasulullah dengan Abu Syureih. Rasulullah bertanya kepada Abu Syureih: “Kenapa
kamu dipanggil Abu Al-Hakam?” Abu Syureih menjawab: “Sesungguhnya kaumku
apabila bertengkar, mereka datang kepadaku, meminta aku menyelesaikannya, dan
mereka rela dengan keputusanku itu”. Mendengar jawaban Abu Syureih itu
Rasulullah berkata: “Alangkah baiknya perbuatan yang demikian itu”. Demikian
Rasulullah membenarkan bahkan memuji perbuatan Abu Syureih, Sunnah yang
demikian disebut dengan as-sunnah taqririyah.[5]
Contoh lain
dalam arbitrase komersialpun dibenarkan menurut Islam, dan sebagai contoh nyata
adalah peristiwa yang dialami oleh Umar bin Khattab yang sedang menawar kuda.
Umar ingin mengembalikan kuda itu (tidak jadi membeli), tapi pemiliknya
menolak. Akibatnya terjadi sengketa yang akhirnya diselesaikan secara tahkim,
seperti yang diceritakan sebelumnya. Jadi kasus arbitrase yang dialami oleh
Umar ini adalah dalam perdagangan.
Dasar hukum
arbitrase menurut hukum positif adalah: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Secara tidak langsung pasal 3 bagian penjelasan Undang- Undang Nomor 14 tahun
1970 mengakui keabsahan arbitrase, dimana pada bagian akhir disebutkan :
"Penyelesaian perkara diluar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
wasit (arbitrase) terap diperbolehkan". Penjelasan pasal 3 kalimat
terakhir itulah yang menjadi landasan hukum kebolehan perjanjian arbitrase.
Berarti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagai Undang- Undang Pokok
Kehakiman membuka kemungkinan pen- yelesaian sengketa melalui badan Arbitrase.
Di Indonesia,
Dengan adanya UU. No. 30 Tahun 1999 tersebut, maka setiap Iembaga arbitrase
baik berskala nasional maupun internasional adalah sah apabila lembaga/badan
arbitrase itu telah memenuhi syarat-syarat/ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang tersebut. Tentang eksistensi arbitrase internasional
dicantumkan pada pasal 1 ayat (1) UU. Tersebut yang berbunyi: "Putusan
Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum R.L, atau putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum RI.,
dianggap sebagai suatu putusan internasional.[6]
B. Kekuatan Putusan dalam
Tahkim (Arbitrase)
Sifat dan bentuk dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga
arbritase lebih cenderung memilih cara kekeluargaan dan perdamaian. Dalam surah
An-Nisa ayat 127 ditegaskan bahwa “berdamai itu lebih baik”. Mengajak berdamai
berarti mengajak kepada suatu kebaikan. Model penyelesaian perkara seperti itu
sudah menjadi komitmen para sahabat. Misalnya Umar Ibn Khathab, dalam setiap
menyelesaikan perkara senantiasa selalu mengingatkan untuk mengutamakan “jalan
damai”. Dalam satu diktum Risalat al-qadha ditegaskan: “perdamaian adalah boleh
diantara umat islam, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram
atau mengharamkan sesuatu yang halal. Ajaklah orang-orang yang berselisih itu
hingga damai”. Dalam kaitan itu, terdapat ungkapan yang menggambarkan tentang
tingginya nilai perdamaian: Al-Shulhu Sayyid Al-ahkam.[7]
Apabila cara pemdekatan dengan cara kekeluargaan dan perdamaian itu
senantiasa ditawarkan dan menjadi model lembaga arbritase dalam menyelesaikan
sengketa maka tidak akan terlihat adanya kesan yang menang dan yang kalah, yang
dapat mewariskan karat dihati, iri dengki, dendam kesumat, kebencian dan
permusuhan diatara mereka. Semua pihak sama-sama menjadi pihak yang menang
karena diputuskan melalui kesepakatan para pihak secara bersama-sama. Dengan
demikian, putusan lembaga arbitrase tampak lebih berasahabat, yang dapat
menentramkan dan menyejukan hati para pihak.
Berbeda dengan produk peradilan resmi yang memiliki daya ikat dan daya
paksa (fiat eksekusi), maka kekuatan produk lembaga arbritase itu menjadi isu
perdebatan. Namun demikian, kebanyakan dari para ahli hukum islam (pengikut
imam Hanafi, pengikut Imam Hambali, Pengikut Imam Maliki, dan mayoritas dari
pengikut Imam Syafi’i) menganggap bahwa putusan lembaga arbritase secara
langsung adalah mengikat kepada para pihak. Pengikatan itu sendiri telah
terjadi ketika para pihak memilih dan mengangkat kuasa arbritase sebagai juru
penengah untuk menyelesaikan sengketa mereka. Sedangkan menurut sebagia kecil
pengikut Imam Syafi’i, produk lembaga arbritase itu tidak mengikat dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, kecuali apabila mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari para pihak, shingga dalam pelaksanaannya lebih mendasar pada kerelaan
hatidan kesadaran hukum para pihak. Pendapat yang terakhir ini lebih memandang
putusan arbritase sebagai fatwa biasa, yang tidak memiliki daya ikat dan daya
paksa. Terkadang diterima untuk dilaksanakan dan adakalanya ditolak. Untuk
memelihara dan melindungi kekuatan hukum produk lembaga arbritase itu, maka
tidak ada salahnya apabila hal itu dilegitimasi dengan akta damai, sehingga
tidak dapat dicabut dan dibatalkan oleh siapapun, termasuk oleh lembaga
peradilan.[8]
C. Klasifikasi Tahkim (Arbitrase)
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi
tiga jenis diantaranya adalah:
1.
Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang
bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik
akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu
negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah lembaga arbitrase
nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk
berdasarkan UURI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. BANI dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan
kontrak dan tunduk pada Hukum Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat
pada tanggal 3 Desember 1977 yang bergerak di bidang komersial meliputi bidang
perdata, perdagangan, industri, keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R.
Subekti (Ketua MA), H. Priyatna, Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat
Indonesia), dan Suswanto Sukendar (Ketua KADIN).[9]
2.
Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang
menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang
ekonomi syariah atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya.
Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan
sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syaria, bisnis syariah dan
sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat
indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan
MUI nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi
dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan
badan yang berada dibawah MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara
sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Agama
3.
Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang
berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasdional. Yaitu
proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI,
dengan alasan untuk menghindari ketidakpastian yang berkaitan dengan proses
pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasioanl
adalah kasus kontrak antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT).
Ketika terjadi perselisiahan mengenai kontrak tersebut, pemerintha meminta
UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian
memutuskan NNT melakukan one prestasi.[10]
Sementara dalam
keberadaan berlakunya masa keputusan arbitrase terdiri dari dua macam
yakni :
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase sementara
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus utuk
dapat menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu
sifat dari arbitrase ad hoc bersifat insidentil, dimana kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu,
apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara maka keberadaan
dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
misalnya UU No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL
Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan
perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur
pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausal arbitrase.
2. Arbitrase institusional,
Arbitrase institusional
merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen yang
dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka
tentukan sendiri. Sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk
selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai
diputus.
Saat ini lembaga tersebut dikenal dengan
berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Indonesia, atau yang internasional
seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce
(ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of
International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan
atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau
prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui
arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Sementara di
Indonesia sendiri terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase
yaitu: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).[11]
BAB III
KESIMPULAN
Tahkim dan
arbitrase digunakan secara bergantian, karena pada dasarnya kedua kata tersebut
memiliki kesamaan makna. Bilamana istilah tahkim berasal dari bahasa arab
sedangkan arbitrase dari bahasa inggris (bahasa latin).
Tahkim adalah
mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Istilah arbitrase
berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Jadi dapat
dibandingkan antara pengertian tahkim menurut hukum islam dan arbitrase menurut
kacamata para ahli jelaslah bahwa tahkim dan arbitrase tidak berbeda dan
hakikatnya serta tujuannnya adalah sama. Namun secara tekstual, konsep hukum
islam tentang tahkim hanya berlaku dalam masalah keluarga yaitu dalam persegketaan
suami-istri. Sedangkan konsep arbitrase menurut hukum positif berlaku
untuk berbagai bidang komersial seperti halnya perdagangan, industri bahkan
meluas hingga politik dan sebagainya.
Dasar hukum
tahkim dalam Al-Qur’an untuk dijadikan landasan pelaksanaan tahkim atau
arbitrase adalah QS. An-nisa : 35, QS.
Al-Hujurat: 9, dan QS. An-Nisa’ ayat 114 dan 128. Sedangkan
arbitrase menurut hukum positif adalah: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Adapun fungsinya adalah
sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian
Sengketa sehingga mampu menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa perdata
nasional di Indonesia atau mampu menyelesaikan
perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha
perdamaian atau islah.
Tahkim atau arbitrase dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
a) Arbitrase dari segi jenisnya
1. Arbitrase umum (nasional)
2. Arbitrase khusus (syariah)
3. Arbitrase internasional
b) Arbitrase dari segi keberadaan masa keputusan
1. Ad hoc atau sementara
2. Institutional atau Permanent
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal Arbitrase
Dalam Perspektif Hukum Islam, dimuat dalam Majalah Himmah Vol. VII
no. 18 Januari -April 2006
Poerwosutjipto, H.M.N. Pokok-pokok
Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta:
Djambatan, 1992
Wirawan, Konflik Dan
Manajemen Konflik, Jakarta: Salemba Humanika, 2010