Gerakan pembaharuan bertitik tolak dari asumsi
dasar bahwa Islam sebagai realitas dalam lingkungan sosial tertentu tidak
sesuai lagi atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang
sebenarnya, yaitu Islam yang lebih sesuai dengan ideal, sesuai dengan cara
pandang, pendekatan, latar belakang sosio-kultural dan keagamaan individu, dan
kelompok pembaharuan yang bersangkutan.
Pembaharuan di bidang hukum pun menunjukkan hal yang sama, di beberapa
negara Islam misalnya, hukum keluarga mengalami perkembangan yang dianggap jauh
dari shari’at Islam karena sudah tidak sesuai lagi dengan pendapat Imam Mazhab
yang mereka anut. Hukum keluarga di negara tertentu sudah jauh beranjak
dari hukum Islam yang sebenarnya.
Polemik seputar pernikahan anak di bawah umur
saat ini menjadi salah satu masalah krusial. Perdebatan batas minimal
seseorang untuk melangsungkan pernikahan disinyalir sebagai salah satu pemicu
polemik tersebut. Kontroversi antara kaum konservatif yang cenderung
memegang teguh pada konsep literatur teks dan kaum reformis yang cenderung
memahami teks nash secara kontekstual menjadi perdebatan panjang yang berujung
pada perbedaan penerapan hukum di sejumlah negara. Sebagian ulama Islam
konservatif menolak adanya pembatasan umur dengan alasan menjaga terjadinya
sikap amoral, seks bebas karena terlalu jauh antara usia baligh dengan
usia kebolehan menikah, dan menjaga keturunan. Dalil yang sering dikemukakan
oleh kaum konservatif antara lain dengan berpegang kepada literatur fikih yang
menyatakan bahwa “diperbolehkan terjadinya perkawinan antara
laki-laki dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan lelaki
yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil”. Bahkan dalam sejumlah literatur fikih ditemukan diktum
yang lebih ekstrem lagi misalnya : “Bila seorang laki-laki mengawini seorang
perempuan yang masih kecil, kemudian si isteri disusui oleh ibu si suami, maka
isterinya itu menjadi haram baginya.” Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang masih
bayi dapat melangsungkan pernikahan. Imam Jalaludin Suyuthi pernah
menuliskan dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis
pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat
ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika
(diajak menikah) orang yang setara/kafaah”. Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam
kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12
tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut
dibebankan atas orang tuanya”.
Ada beberapa
argumentasi yang mendasari perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah
sah atau tidaknya menikahkan perempuan yang masih kecil atau belum dewasa oleh
bapaknya, antara lain sebagai berikut :
1. Jumhur Ulama berpendapat bahwa tidak ada
batasan umur seseorang untuk menikah. Dalil (1), Surat at-Thalaq ayat 4 :
وَاللّائِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِسَائِكمُ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائَى لَمْ يَحِضْنَ
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجْلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ
اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (الطلاق : ٤)
“Dan mereka yang putus haidnya dari isteri-isterimu kalau kamu
ragu, maka iddah mereka itu adalah 3 bulan, demikian juga mereka yang tidak
berhaid.”
Wajah Istidlal ayat tersebut adalah :
·
Ayat ini menjelaskan bahwa iddah
wanita yang sudah putus darah haidnya dan wanita yang belum berhaid adalah 3
bulan.
·
Gadis yang masih kecil (belum
dewasa) termasuk dalam golongan wanita yang belum haid.
·
Adanya iddah menunjukkan adanya
talak yang didahului oleh persetubuhan. Adanya talak menunjukkan adanya akad
nikah, hal mana menunjukkan akad nikah gadis yang belum berhaid karena ia masih
kecil.
Dalil (2), Hadis riwayat Bukhari Muslim :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا :اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِيْنَ وَادْخِلَتْ
عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ وَمَكَسَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا (رواه بخارى
و مسلم
“Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah menikahinya sedang ia masih
berumur enam tahun dan ia diserahkan kepada Rasul ketika umurnya sembilan tahun
dan ia tinggal bersama Rasul selama sembilan tahun.”
Menurut adat kebiasaan usia enam
atau tujuh tahun adalah belum dewasa dan belum dapat disetubuhi.
Peristiwa perkawinan Rasul dengan Siti Aisyah dalam umur demikian itu tidaklah
dapat dipandang khususiyah bagi Rasul tanpa dalil, karena kalau ada dalil
khususiyah niscaya tidak akan terjadi pernikahan antara Qudamah bin Mahzhum dengan
putri Zubair yang baru lahir, dan pernikahan Umar bin Khattab dengan puteri
saidina Ali yang masih kecil yang namanya Ummu Kulsum.
Ibnu Syubrumah memandang
pernikahan Nabi saw dan Aisyah mengandung ihtimal khusushiyah yang oleh
karenanya tidak dapat dijadikan dalil.
Dalil (3), Hadis Riwayat Tirmizi :
اِذَا اَتَاكُمْ مِنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَاَ نْكِحُوْهُ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ
كَبِيْرٌ (رواه ترمذى)
“Kalau datang kepadamu lelaki yang agama dan akhlaknya kamu
senangi, maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukan niscaya akan terjadi
fitnah dan kerusuhan besar”
Menurut akal, tiap-tiap ada
kesempatan untuk mendapatkan jodoh yang sekufu maka tidaklah wajar wali
melepaskan kesempatan itu karena wali harus mengutamakan kemaslahatan gadisnya,
lebih-lebih jika wali itu adalah bapaknya, satu-satunya manusia yang mengetahui
dan menyantuni anaknya, sedangkan agama mempermudah urusan pernikahan
sebagaimana diketahui dari hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi tersebut di
atas.
2. Ibnu Syubrumah berpendapat bahwa gadis yang
masih kecil (belum dewasa) termasuk dalam golongan wanita yang belum berhaid
tidak sah melakukan akad nikah. Dalil yang dikemukakannya antara lain mengenai
hadis yang melarang menikahkan gadis tanpa izin si gadis.
عَنْ اَبِيْ هرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ : لَاتُنْكَحُ
الْاَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْ مَرَ وَلَاالْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوْا :
يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ اِذْنُهَا ؟ قَالَ : اَنْ تَسكُتْ. (جمعة اهل الحديث)
“Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw beliau bersabda :
tidak dinikahkan janda sehingga dimintakan perintahnya dan tidak dinikahkan
gadis sehingga diminta izinnya. Para sahabat berkata : bagaimanakah izinnya hai
Rasulullah ? Beliau menjawab : izinnya adalah diamnya.” (HR. Jama’ah)
Wajah Istidlal hadis tersebut adalah :
a. Hadis ini mewajibkan wali (termasuk wali
mujbir) meminta izin dari gadisnya sebelum berlangsung akad nikahnya.
Izin dari gadis yang belum dewasa tidak dapat dianggap. Oleh karena
sahnya akad nikah tergantung pada izinnya sedangkan izin dari orang yang belum
dewasa tidak dapat dianggap, maka wajiblah atas wali sampai gadisnya dewasa
(Ibnu Syubrumah menurut riwayat ibnu Hazm).
b. Tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapatkan
keturunan dan memelihara diri dari kemaksiatan. Cara mendapatkan keturunan dan
memelihara dari kemaksiatan tentulah dengan jalan persetubuhan, sedang maksud
utama ini hanya dapat dilakukan terhadap gadis yang usianya telah memungkinkan
untuk disetubuhi (Ibnu Syubrumah menurut riwayat at Thahawy).
3. Syafi’iyah dan Ibnu
Syubrumah : meminta izin dari gadis sunnah hukumnya bagi Bapak, berdasarkan
hadis Abu Hurairah di atas.
4. Hanafiyah :
berdasarkan hadis Abu Hurairah di atas meminta izin dari gadis wajib hukumnya,
hanya saja karena masih kecil maka haknya dijalankan oleh Bapak.
Sejak tahun 1880 Inggris mengakui
keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan
Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di
negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore). Sebelum masuknya
Inggris hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang masih bercampur dengan hukum
adat, menurut Abdul Munir. Yang Dipertuan Agong adalah gelar raja tertinggi
Malaysia, jabatan ini digilirkan setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah
Negeri Melayu. Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari
Inggris pada 1957. Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di
antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja.
Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu
kerajaan yang menganut sistem pergiliran kekuasaan.
Undang-undang yang berlaku di negara-negara
bagian sebelum campur tangan Inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan
orang-orang Melayu di negara sembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan ada
pun Temenggung di bagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak
mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak. Undang-undang tersebut sangat
dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam masalah perkawinan, perceraian
dan jual beli. Sementara untuk negara-negara Melayu bersekutu ( perak,
Selangor, Negeri sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan
Marriages and Divorces Enactment 1885 dan untuk negara-negara Melayu tidak
bersekutu atau negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils, Kedah dan
Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. Menurut
Khoiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia
maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di
Malaysia akan lahir dua kelompok besar :
1. UU yang mengikuti akta persekutuan
yakni Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu,
Serawak dan Sabah.
2. Kelantan, Johor, Malaka, dan
Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup
menyolok, yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali.
Hukum Keluarga Islam (Wilayah Federal)
Undang-undang tahun 1984 Nomor 304 :
1. Pasal 8 menyebutkan :
“Tidak boleh melangsungkan pernikahan atau
melakukan pencatatan pernikahan dimana usia perkawinan masing-masing di bawah
umur 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan, kecuali
hakim Syari’ah mengizinkannya secara tercatat dalam kondisi tertentu.”
2. Pasal 37 menyebutkan :“Kecuali diizinkan menurut hukum
shar’i setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman apapun
(a) memaksa seseorang untuk menikah yang bertentangan
dengan keinginannya, atau (b) mencegah seorang laki-laki yang
telah mencapai umur delapan belas tahun atau wanita yang sudah
mencapai 16 tahun untuk melakukan perjanjian perkawinan yang sah adalah
merupakan suatu kejahatan dan harus dihukum dengan denda paling
banyak seribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam
bulan atau dihukum dengan hukuman kedua-duanya yaitu denda
dan penjara”.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Malaysia adalah negara federal yang memiliki hukum berbeda pada tiap-tiap
wilayah/bagiannya serta merupakan negara di Asia Tenggara yang pertama kali
melakukan pembaharuan hukum Islam. Semua Negara Bagian di Malaysia
mempunyai undang-undang tersendiri dalam bidang keluarga yang umum dikenal
dengan sebutan enakmen atau statut (statuta dalam bahasa Indonesia).
Enakmen-enakmen yang dimaksudkan seperti diringkaskan Muchtar Zarkasyi sebagai
berikut :
1. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Kedah,
1979 (1964).
2. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Kelantan,
1983.
3. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Malaka,
1983.
4. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Negeri
Sembilan, 1983.
5. Akta Undang-undang Keluarga Islam, Wilayah
Persekutuan, 1984.
6. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Slangor,
1984.
7. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Perak,
1984.
8. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pulau
Pinang, 1985.
9. Enakmen Undang-undang Pentadbiran Keluarga
Islam, Terengganu, 1985.
10. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Pahang, 1987.
11. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Perlis (draft).
12. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Klantan, 1985.
13. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Kelantan, 1987.
14. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Selangor, 1988.
15. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Johor, 1990.
16. Ordinan
Keluarga Islam, Serawak, 1991.
17. Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Sabah.
Sampai saat ini Malaysia belum mempunyai
undang-undang keluarga yang berlaku secara nasional. Keadaan semacam ini
sesungguhnya dapat menimbulkan kerugian secara politis, dimana dapat melemahkan
kontrol negara dalam aspek-aspek yang berskala nasional. Akan tetapi negara
federal pun tidak berarti tak memiliki keunggulan, setidaknya dalam beberapa
kasus tertentu akan mudah dalam mengendalikan kontrol.
Menurut pendapat penulis hukum keluarga Islam
di Malaysia dapat dikategorikan ke dalam metode pembaharuan Istilahi yakni
menekankan kepada tujuan syari’ah. Baik ketentuan tentang batasan usia
minimal anak maupun sanksi yang ditetapkan, kedua-duanya merupakan kebijakan
administratif dalam rangka mewujudkan maqasid al-syari’ah yaitu
mewujudkan kemaslahatan umat. Artinya Malaysia dan Mesir memiliki
kesamaan dalam hal metode pembaharuan hukum keluarga Islam. Dari segi
regulasi hukum, Malaysia dan Mesir sama-sama menerapkan aturan-aturan yang
mengikat bagi masyarakatnya serta sanksi bagi pelanggarnya yaitu sama-sama
menetapkan batasan usia minimal pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
bagi perempuan, serta sama-sama memberikan sanksi berupa denda dan penjara
terhadap para pihak yang melanggarnya.
Malaysia mayoritas masyarakatnya menganut
mazhab Syafi’i sedangkan Pakistan bermazhab Hanafi. Dalam hal ini Imam
Syafi’i berpendapat bahwa meminta izin tidaklah wajib bagi seorang wali, izin
hanya sunah saja. Artinya seseorang tidak harus menetapkan usia
perkawinan bagi anaknya karena wali lebih berhak atas si anak. Hal ini
sama maknanya dengan proses berpikir dan menimbang tidak terlalu
dibutuhkan, karena kerelaan si anak tidak diperlukan, artinya hanya anak
kecilah yang tidak dapat melakukan ‘proses berpikir’ dan menimbang, apalagi
mengerti arti kerelaan. Dari kerangka pemikiran inilah penulis berpendapat
bahwa sesungguhnya Malaysia belum beranjak dari mazhab anutannya yaitu Syafi’i
karena Imam Syafi’i tidak mengharamkan, tetapi hanya mensunahkan adanya
izin. Ini berarti masih terdapat opsi bagi ditetapkannya batas usia
pernikahan.
Simpulan
Pembaharuan hukum Islam di Dunia
Muslim pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang
fleksible. Perbedaan nalar fikih kontemporer dengan nalar fikih
klasik antara lain adalah nalar fikih kontemporer lebih bersifat kontekstual
atau aktualitas teks dengan ciri mencari terobosan baru di tengah kemandegan
hukum sedangkan nalar fikih klasik lebih bersifat tekstual/literal. Kaidah yang
paling sesuai bagi pembaharuan hukum Islam adalah “makna yang terkandung bukan
bangunan/bentuk sesuatu” (al-‘ibrah bi al-ma’âni lâ bi al-mabâni).
Azra, Azyumardi, Akar-Akar
Historis Permbaharuan Islam di Indonesia Neo Sufisme Abad ke 11-12 H dalam
Tasawuf (Jakarta : Yayasan Paramadina 2000), h. 179.
Hummam, Ibn. Sharh Fath
al-Qadir (Kairo: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1970), h. 186, 274.
al-Jaziri, Abd al-Rahman. Fiqh
‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah (Mesir : Mathba‘ah al-Tijariyyah al-Kubra,
1990), h. 94
Hosen, Ibrahim. Fiqh
Perbandingan (Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan
Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971), Jilid 1, h. 132.
Suma, Muhammad Amin. Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.
1, h. 154.
Ibrahim Hosen. Fiqh Perbandingan (Jakarta :
Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia,
1971), Jilid 1, h. 132.
Muhammad Amin Suma. Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, h. 154.