A.
PENGANTAR
Membahas tentang akhlak, tidak pernah lepas dari perilaku manusia. Karena akhlak
sudah ada sejak manusia itu dilahirkan. Mulai dari manusia yang pertama kali,
yaitu Nabi Adam as sampai sekarang ini. Baik buruknya akhlak seseorang akan
terliat dari bagaimana perilaku mereka. Tentunya akhlak seseorang akan
mempengaruhi kedudukan mereka dalam masyarakat luas serta di hadapan Allah Swt.
Akhlak merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Karena manusia
tanpa akhlak, akan kehilangan derajatnya sebagai makhluk Allah yang paling
mulia.
Karena akhlak sudah ada sejak manusia pertama kali, yaitu Nabi Adam as.
Tentu akhlak memiliki sejarah yang luar biasa. Pertumbuhan dan perkembangannya
pun tentu sangat menarik untuk kita pelajari. Mulai dari ilmu akhlak di luar
Islam, akhlak bangsa Ibrani, akhlak dalam ajaran Islam serta akhlak sebelum
Islam. Dimana memiliki pemikir-pemikir yang berbeda setiap perkembangannya.
B.
PEMBAHASAN
1.
AKHLAK FASE YUNANI
Pertumbuhan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan
bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu
perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Dasar yang digunakan para
pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia.
Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis.
Pandangan dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof Yunani
berbeda-beda. Tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan angkatan
muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik, merdeka, dan mengetahui
kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
·
Tokoh-tokoh sofistik (500-450 SM)
Para filusuf Yunani kuno tidak banyak memperhatikan
akhlak, mereka lebih banyak menaruh perhatian terhadap alam. Hal itu terjadi
sebelum kemunculan tokoh-tokoh sofistik (bijaksana). Pandangan para tokoh sofistik mengenai kewajiban ini memunculkan pandangan
mengenai prinsip-prinsip akhlak yang di ikuti dengan berbagai kecaman terhadap
sebagian tradisi lama dan pelajaran-pelajaran yang diberikan generasi
sebelumnya. Hal ini tentu membangkitkan kemarahan kaum konservatif.
Plato kemudian
muncul. Ia menentang tokoh-tokoh sofistik, Plato menyebut mereka sebagai
“sofistry” yang artinya “memutar lidah dalam penyelidikan dan perdebatan
mereka.”
·
Socrates (469-399 SM)
Socrates didaulat sebagai perintis ilmu akhlak Yunani
yang pertama. Alasannya, ia adalah tokoh pertama yang bersungguh-sungguh
mengaitkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa akhlak
dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia harus didasarkan pada ilmu
pengetahuan. Ia mengatakan bahwa “keutamaan itu terdapat pada ilmu”. Oleh
karena itu, tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai pendapat tentang tujuan
akhlak walaupun sama-sama didasarkan pada Socrates.
·
Cynics dan Cyrenics (444-370 SM)
Cynics dan
Cyrenics adalah para pengikut Socrates, tetapi ajaran keduanya bertolak
belakang. Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan dibersihkan dari segala
kebutuhan dan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memiliki perangai akhlak
ketuhanan. Dengan akhlak ketuhannan ini seseorang sedapat mungkin
meminimalisasi kebutuhan dan terbiasa dengan hidup menderita. Ia menganggap
hina kekayaan, menjauhi segala kelezatan, terbiasa dengan kemiskinan, dan tidak
memedulikan hinaan orang atas kemiskinannya.
Jika cynics berpendapat bahwa
kebahagian itu terletak pada upaya menghindari kelezatan, Cyrenics berpendapat
bahwa kebahagiaan itu justru terletak pada upaya mencari kelezatan.
·
Plato (427-347 SM)
Datanglah Plato (429-347 SM) murid Socrates, dia
berpendapat bahwa dibelakang alam wujud (fisik) ada alam lain yang bersifat
ruhani (metafisika) dan setiap benda yang berjasad itu mempunyai gambar yang
tidak berjasad di alam ruhani. Dia juga berpandapat bahwa di dalam jiwa ada
berbagai kekuatan yang berlainan, dan keutamaan timbul dari keseimbangan
kekuatan-kekuatan itu yang juga tunduk kepada akal. Menurut ajarannya terdapat
empat pokok-pokok keutamaan yaitu kebijaksanaan, keberanian, kesucian, dan
keadilan, yang manjadi syarat untuk tegak dan lurusnya bangsa-bangsa dan
perseorangan.
·
Aristoteles (394-322 SM)
Kemudian
datang Aristo atau Aristoteles (384-322 SM) murid Plato. Dia membuat aliran
baru dan pengikutnya dinamakan peripatetics. Dia berpendapat bahwa
tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Cara mencapai kebahagiaan
menurutnya ialah dangan mempergunakan kekuatan akal sebaik-baiknya. Aristoteles
juga menciptakan teori “tengah-tengah” yaitu setiap keutamaan berada diantara
dua keburukan.
2.
AKHLAK FASE ARAB PRA ISLAM
Bangsa Arab
pada masa Jahiliyah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagai mana bangsa
Yunani (zeno, Plato dan Aristotels). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian,
bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang
hikmah dan syairnya mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Lukman Al-Hakim,
Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma, dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat
dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran yang minimal
dalam bidang akhlak, dan belum sebanding dengan kata-kata hikmah dari
filosof-filosof Yunani kuno. Memang pada saat itu dari kalangan bangsa Arab
belum diketahui adanya para ahli filsafat dan aliran-alirannya. Hanya ada
orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan untuk berbuat
kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah
agama islam datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala
sesuatu yang ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah
ciptaan sang Khalikul Alam.
3.
AKHLAK FASE ISLAM
Dalam islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad
saw. Adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka
bumi ini adalah untuk menyempurmakan akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama
kali menggagas atau menulis ilmu akhlak dalam islam, masih diperbincangkan. Berikut
ini akan dikemukakan beberapa teori.
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu
akhlak adalah Ali bin Abi Thalib ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya
untuk putranya, Al-Hasan setelah kepulangannya dari perang shiffin di dalam
risalah tersebut terdapat banyak pelajar tentang akhlak dan berbagai keutamaan.
Kandungan risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balagah yang
banyak dikutip oleh ulama sunni, seperti Abu Ahmad bin Abdillah Al-‘Asykari
dalam kitabnya Az-Zawajir wa Al-Mawa’izh.
Kedua, tokoh islam yang pertama kali menulis
ilmu akhlak adalah Ismail bin Mahran Abu An-Nasr As-Saukuni, ulama abad kedua
H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa Al-Fajr, kitab akhlak yang pertama kali
dikenal dalam islam. Selain itu dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka
tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Gifhari, Amr bin Yasir ,
Nauval Al_Bakali, dan Muhammad bin Abu Bakar.
Ketiga, pada abad ketiga H, Ja’far bin Ahmad
Al-Qumi Menulis kitab Al-Mani’at min Dukhul Al-Jannah. Tokoh lainnya yang
secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah:
1.
Ar-Razi (250-313H) walaupun masih ada
filusuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam
bidang akhlak berjudul Ath-Thibb Ar-Ruhani (kesehatan ruhani). Buku ini
menjelaskan kesehatan ruhani dan penjagaannya. Kitab ini merupsksn filsafat
akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral-moral manusia.
2.
Pada abad ke empat H, Ali bin ahmad Al-Kufi
menulis kitab Al- Adab dan Makarim Al-akhlak. Pada abad ini dikenal pula tokoh Abu
Nasar Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak. Demikian juga
ikhwan Ash-Shafa dalam Rasa’ilnya, dan Ibnu Sina (370-428H).
3.
Pada abad ke lima H, Ibnu Maskawaih (w.
421 H) menulis kitab Tahdzib Al-Akhlak wa Tath-hir Al-A’araq dan Adab Al-‘Arab
wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak yang sebagai
materinya berasal dsari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang
diramu dengan ajaran dan hukum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup
penulis dan situasi zamannya.
4.
Pada abad ke enam H, Warram bin Abi
Al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khatir wa Nuzhah An-Nazhir.
5.
Pada abad ke tujuh H, Syekh Khawajah
Natsir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlak An-Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Asyraf wa
Adab Al-Muta’alimin.
Pada abad-abad
sesudahnya dikenal bebera kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami Ashabih Al-Qulub
karya Syairazi, Makarim Al-Akhlak karya Hasan bin Amin Ad-Din Al-Adab, Ad-Dhiniyah
karya amin Ad-Din Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.
4.
AKHLAK FASE ABAD PERTENGAHAN
Kehidupan
masyarakat Eropa pada abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu,
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan
kedudayaan kuno gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima
dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu itu tentu benar. Oleh
karena itu, tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan penelitian.
Mempergunakan filsafat boleh saja asal tidak bertentangan dengan doktrin yang
dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat geraja.
Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Inilah yang menciptakan suasana dimana filsafat akhlak
yang lahir pada masa itu merupakan perpaduan antara ajaran Yunani dengan ajaran
Nasrani. Pemuka-pemukanya
yang termasyhur adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquinas
(1226-1274).
Kemudian
datang Shakespeare dan Hetzenner yang menyatakan adanya perasaan naluri pada
manusia dapat digunakan untuk membedakan baik dan buruk.
5.
AKHLAK FASE MODERN
Pada pertengahan akhir abad ke-15, Eropa mulai bangkit. Para ilmuan mulai
menghidup-suburkan filsafat Yunani Kuno. Akal mulai dibangunkan dari tidurnya.
Sebagian ajaran klasik dikritik sehingga tegaklah kemerdekaan akal. Diantara
ajaran yang dikritik sekaligus diselidiki adalah ajaran akhlak yang dibawa
bangsa Yunani dan bangsa-bangsa setelahnya
1. Descrates (1596-1650)
Diantara sekian tokoh Barat yang memperhatikan kajian
akhlak adalah Descartes, filsuf dari Perancis. Ia telah meletakan dasar-dasar
baru bagi ilmu pengetahuan dan filsfat, di antaranya:
a. Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa
akal dan sebelum dipastikan nyata. Apa yang didasarkan pada sangkaan semata dan
tumbuh dari kebiasaan wajib ditolak;
b. Penyelidikan terhadap sesuatu harus dimulai
dari yang terkecil dan yang termudah lalu mengarah pada yang lebih kompleks;
c. Tidak boleh menetapkan kebenaran sebelum diuji
terlebih dahulu.
2. Thomas Hill Green (1836-1882) dan Herbert
Spencer (1820-1903)
Green dan Spencer mengaitkan paham evolusi dengan akhlak.
Diantara pemikiran akhlak Green adalah:
a. Manusia dapat memahami suatu keadaan yang
lebih baik dan dapat menghendaki sabab ia adalah plaku moral;
b. Manusia dapat melakukan realisi diri karena ia
adalah subjek yang sadar diri, suatu reproduksi dari kesadaran diri yang abadi;
c. Cita-cita keadaan yang lebih baik adalah yang
ideal, tujuan yang terakhir,
d. Ide menjadi pelaku bermoral dalam kehidupan
manusia. Kebaikan moral adalah yang memuaskan hasrat pelaku moral. Kebaikan
yang sesungguhnya adalah tujuan yang memiliki nilai yang mutlak. Ideal dari
kehidupan yang sempurna adalah kesempurnaan manusia dalam alam, ditentukan oleh
kehendak yang selaras, kehendak yang mendorong tindakan yang utama.
3. Victor Cousin (1792-1867) dan August Comte (1798-1857)
Cousin adalah salah seorang yang bertanggung
jawab menggeser filsafat Prancis sensasionalisme ke arah spiritualisme meurut
pemikirannya sendiri. Ia mengajarkan bahwa dasar metafisika adalah pengamatan
yang hati-hati dan analisis atas fakta-fakta tentang kehidupan yang sadar.
August Comte atau Auguste Comte (nama panjang
Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte) lahir di Montpellier, Perancis, 17
Januari 1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59
tahun) adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai “bapak sosiologi”.
Dia dikenal sebagai seorang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam
ilmu sosial.
C.
PENUTUP
Sejarah
Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu
Akhlak. Dia berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar
kecuali bila didasarkan ilmu pengetahuan. Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia
seorang ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah
pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain
adalah alam rohani. Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah
muridnya plato. Pengukutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran
sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh.
Pada saat islam masuk lahirlah seorang guru besar dalam
bidang akhlak yaitu Nabi Muhammad saw. Bahkan diutusnya beliau ke muka bumi
tiada lain untuk menyempurnakan akhlak, namun yang pertama kali menggagas atau
menulisnya masih terus diperbincangkan.
Seiring berjalannya waktu bangsa Eropa pun bangkit dan
mulai merngkaji ilmu tentang akhlak dengan mengkritik sebagian ajaran klasik
dan menyelidiki ajaran akhlak tersebut.
Begitu banyak pendapat-pendapat tentang ajaran akhlak
namun masih terdapat dan di temui kekurangan-kekurangan yang menjadikannya
kurang sempurna dan ditemui celah, hanya satu yang kebenarannya mutlak dan
absolut yaitu akhlak yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan panduannya
yaitu Al-Qur’anul Karim yang diwahyukan oleh Allah swt. Kepadanya.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010
Mustafa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia),
1997, hlm. 41