BAB I PENDAHULUAN
Hukum acara peradilan agama merupakan suatu cara
untuk melaksanakan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, dan shadaqah pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989
mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7
Tahun 1989 “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini”. Ketentuan tersebut menunjukan
bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan
Peradilan Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku
pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun
1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina.
Oleh
karena itu, disini penulis dalam makalah ini akan membahas mengenai Pendaftaran
Perkara dan Persiapan Sidang yang terdiri dari pendaftaran perkara di
pengadilan, penunjukan majelis hakim dan penetapan hari sidang, pemanggilan
pihak-pihak, tata ruang dan persiapan sidang.
1.
Bagaimana
proses pendaftaran perkara di pengadilan?
2.
Bagaimana
penunjukan majelis hakim Dan penetapan hari sidang?
3.
Jelaskan
proses pemanggilan para pihak?
4.
Bagaimana
tata ruang dalam persidangan?
1.
Mengetahui
proses pendaftaran perkara di pengadilan
2.
Mengetahui
penunjukan majelis hakim Dan penetapan hari sidang
3.
Menjelaskan
proses pemanggilan para pihak
4.
mengetahui
tata ruang dalam persidangana
Sesudah
surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat
kelengkapan umun atau mungkin sudah sekaligus dilampiri dengan syarat-syarat
kelengkapan khusus atau dalam buta huruf, bawa saja semua syarat-syarat
kelengkapan itu ke Pengadilan Agama, daftarkanlah di kepaniteraan.
Sewaktu Kepaniteraan
Pengadilan Agama menerima berkas, surat gugatan atau permohonan itu akan
diteliti dan penelitian itu menyangkut dua hal: (1) Apakah surat gugatan atau
permohonan ini sudah jelas, benar tidak tukar balik mulai dari identitas
pihak-pihak, bagian posita dan tentang petitumnya, apakah posita sudah terarah
sesuai dengan petitum dan sebagainya, (2) Apakah perkara tersebut termasuk
kekuasaan Pengadilan Agama, baik kekuasaan relative maupun kekuasaan absolute.[1]
Untuk keperluan penelitian surat
gugatan atau permohonan tersebut, biasanya (bagi lingkungan Peradilan umum)
sudah ditegaskan seorang hakim atau kepaniteraan yang menguasai betul-betul
tentang bentuk dan isi gugatan atau permohonan. Hal serupa itu bisa pula ditiru
oleh Peradilan Agama. Sebagaimana diketahui bahwa pengadilan dilarang
mengabulkan melampaui tuntutan penggugat atau pemohon, juga dilarang untuk
tidak memeriksa dan mengadili seluruh apa yang dituntut oleh penggugat atau
pemohon. Jika petitum tidak jelas atau petitum ada tetapi tidak didukung oleh
posita, itu berarti gugatan/ permohonan tidak jelas atau tidak terarah.[2]
Contoh dalam perkara pelanggaran
ta’liq talaq yang petitumnya tidak benar:
Penggugat mohon kepada Pengadilan
Agama untuk:
a)
Mengabulkan
sepenuhnya gugatan penggugat
b)
Menceraikan
penggugat dari tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp 1.000,-
(seribu rupiah) karena tergugat melanggar ta’liq talaq
c)
Mewajibkan
kepada tergugat untuk membayar ongkos perkara.
Petitum yang benar seharusnya berbunyi sebagai
berikut:
1)
Menerima
gugatan penggugat
2)
Mengabulkan
seluruhnya gugatan penggugat
3)
Menyatakan sah menurut hukum bahwa ta’liq talaq
telah terwujud (telah melanggar oleh tergugat)
4)
Memutuskan
cerai antara penggugat dan tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp
1.000,- (seribu rupiah) karena pelanggaran ta’liq talaq.
5)
Biaya perkara menurut hukum
Petitum harus diatur urutannya sedemikian rupa karena pengadilan
belum akan mengabulkan atau menolak gugatan penggugat sebelum dinyatakan dulu
bahwa perkaranya secara formal diterima oleh pengadilan. Selanjutnya, bila
syarat kelengkapan umum gugatan atau permohonan sudah dipenuhi, penelitian
sudah dilakukan dan sudah benar maka pengadilan dilarang untuk tidak menerima
didaftarkannya perkara tersebut, sebagaimana telah di tunjuk dalam pasal 14 UU
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
berbunyi:
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan dalam ayat
(1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
Adapaun syarat
kelengkapan khusus, karena ia sudah merupakan syarat kelengkapan material,
dapat saja disusulkan kemudian, ketika mulai pemeriksaan perkara.[3]
1.
Penunjukan Majelis
Hakim oleh Ketua Pengadilan
Setelah perkara terdaftar di
kepaniteraan, Penanitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu
kepada ketua Pengadilan Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang
kira-kira berbunyi “sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu ketua
pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili
masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis hakim”
(PMH).[4]
Penetapan PMH memakai nomor
kode indeks surat keluar biasa dan isinya menunjuk siapa-siapa hakim yang akan
menangani perkara yang dimaksudkan, siapa hakim ketua dan anggota, mungkin pula
sekaligus menunjuk panitera sidangnya. Jika dalam PMH belum ditunjuk Panitera sidang, maka dapat ditunjuk oleh ketua majelis. Ganti atau tukar
Panitera Sidang karena suatu hal, itu boleh saja dan tidak mesti dengan surat
penetapan, sebab panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang.
Persidangan dalam peradilan islam dilakukan oleh
hakim tunggal. Hukum Islam tidak mengenal adanya hakim majelis dalam sebuah
persidangan. Penguasa wajib mengangkat qadhi (hakim) di setiap wilayah sebagai
pengganti dirinya yang menjelaskan dan menjalankan hukum-hukum syariat. Hakim tunggal yang ada di dalam hukum acara
Islam mengandung maksud bahwa disamping hal itu memenuhi perintah Allah, hakim
tunggal juga lebih bebas dalam memutuskan perkara. Berbeda dengan hakim
kolektif yang digunakan oleh peradilan diluar sistem hukum islam, dimana persidangan dengan hakim
lebih dari satu dapat memunculkan kesimpulan yang berbeda pada masing-masing
hakim.
Syarat-syarat qadhi yang memimpin persidangan:
tidak semua qadhi bebas atau diperankan memimpin jalnnya persidangan harus
memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1)
Qadhi
tidak boleh memeriksa dan memutus perkara untuk orang yang tidak boleh menjadi
saksi bagi orang itu, seperti ayah, anak, dan istrinya
2)
Qadhi
tidak boleh memeriksa dan memutus perkara yang melibatkan dirinya.
Pelanggaran terhadap hal tersebut membuat hukum
yang dikeluarkan oleh qadhi dapat dibatalkan.[5]
2.
Penetapan Hari Sidang
oleh Ketua Majelis
Ketua Majelis membuat surat penetapan Hari Sidang
(PHS) untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks
penetapan adalah nomor agenda surat ke luar biasa. Kalau panitera sidang belum
ditunjuk dalam penetapan sidang belum ditunjuk dalam penetapan PMH terdahulu, ketua majelis sekaligus menunjuk
pula panitera sidangnya.
Berdasarkan PHS, juru Sita
akan melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri
sidang sesuai dengan hari, tanggal, jam dan tempat yang ditunjuk dalam Berita
Acara Sidang (tidak perlu dengan PHS lagi).
Penetapan hari Sidang untuk sidang pertama sangat
menentukan sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri. Kita ketahui bila
tergugat sudah dipanggil dengan patut pada sidang pertama, ia atau kuasa sahnya
tidak menghadap , maka ia akan diputus verstek. Jika penggugat sudah dipanggil
dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama
maka perkaranya akan diputus dengan digugurkan. Nah, landasan yuridis bolehnya
verstek dan digugurkan dalam hal ini adalah PHS dari ketua majelis tadi.
Pengadilan Agama
sebagai lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus menempatkan dirinya
sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya (court of law) sesuai dengan kedudukannya yang telah
diberikan oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradian agama. Dengan
demikian Pengadilan Agama perlu meningkatkan kualitas aparatnya sehingga dapat
melaksanakan dengan baik dan benar tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Adapun
yang harus dilakukan adalah melaksanakan hukum acara dengan baik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku seperti halnya memanggil para pihak untuk mengikuti
persidangan dan tugas ini diberikan kepada juru sita sebagai pihak yang
bertanggung jawab memanggil para pihak yang berperkara untuk hadir dalam
persidangan.
Tugas Juru sita
sebagaimana tersebut dalam Pasal 103 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama harus dilakukan dengan benar
dan penuh tanggung jawab. Juru sita dilarang menyampaikan panggilan dan
pemberitahuan putusan di luar yurisdiksi Pengadilan Agama yang memberikan
perintah dan pemberitahuan putusan
tersebut.
Surat panggilan
disebut juga dengan “relaas”. Dalam hukum acara perdata, relaas ini
dikategorikan sebagai akta autentik. Dalam pasal 166 HIR dan pasal 285 R.Bg
serta pasal 1868 B.W, disebutkan bahwa akta autentik adalah suatu akta yang
dibuat dihadapan pegawai umum dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
yang berlaku.
Masalah pemanggilan
dan pemberitahuan putusan dimuat dalam pasal 122, 388, dan pasal 390 HIR dan
pasal 146, pasal 718 R.Bg serta pasal 26-28 PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal
138-140 KHI. Adapun teknis pemanggilan para pihak yang berperkara sebagai
berikut:[6]
1)
Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi
Ada
dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan pemanggilan yaitu: harus
dilakukan secara resmi sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan harus memenuhi tenggang waktu yang patut.
Dalam praktik Peradilan Agama selama ini, pemanggilan seperti tersebut terakhir
ini adalah tidak sah, karena tidak langsung disampaikan di tempat tinggal para
pihak yang berperkara sebagaimana tersebut pada pasal 390 HIR dan pasal 718
ayat (1) R.Bg. jika pihak yang berperkara tidak mempunyai tempat tinggal yang
tetap maka dapat ditempel di papan pengumuman dan apabila tidak berada ditempat
maka panggilan bisa disampaikan kepada kepala desa atau kelurahan sesuai pasal
390 HIR pasal 718 ayat (1) R.Bg, pasal 26 ayat (3) PP Nomor 9 tqhun 1975, dan
pasal 138 ayat (3) KHI.
2)
Panggilan di luar
wilayah yurisdiksi
Apabila tergugat berada diluar wilayah Pengadilan
Agama yang bersangkutan, maka ketua Pengdilan Agama memohon bantuan pemanggilan
kepada Pengadilan Agama dimana tempat
tergugat berada. Surat permohonan pemanggilan tersebut dibuat dan
ditandatangani oleh panitera yang isinya memohon kepada pengadilan agama yang
dituju untuk memanggil para pihak (biasanya tergugat) karena saat ini berada di
wilayah yurisdiksi pengadilan agama tersebut.
3)
Pemanggilan di liar
negeri
Jika para pihak yang berperkara berada diluar
negeri sebagaimana tersebut dalam pasal 28 PP No 9 Tahun 1975 dan pasal 140
KHI, maka panggilan dilakukan melalui Direktur Jendral dan Konsuler Departemen
Luar Negeri. Tembusan permohonan pemanggilan itu disampaikan kepada perwakilan
RI/ Kedutaan Besar RI di Negara di mana pihak yang dipanggil bertempat tinggal
dan disampaikan juga kepada pihak yang dipanggil, dengan melampirkan sehelai
surat gugatan.
4)
Pemanggilan bagi
tergugat yang gaib
Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, atau tidak diketahui jelas
penggugat berada maka pemanggilannya dapat dilaksanakan dengan melihat jenis
perkaranya:
a.
Perkara yang
berhubungan dengan perkawinan
Pemanggilan dilakukan dengan
cara mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa
lainnya sebagaimana yang di tetapkan oleh ketua pengadilan agama secara resmi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b.
Perkara yang berkenaan
dengan kewarisan
Pemanggilan dilaksanakan
melalui Bupati atau Walikota madya dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama di
tempelkan pada papan pengumuman pengadilan agama didepan pintu utama atau wali
kota madya sebagaimana tersebut dalam pasal 390 ayat (3) HIR dan pasal 718 ayat
(3) R.Bg. apabila yang dipanggil meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya dengan cara menyampaikan langsung kepada ahli warisnya.[7]
5)
Pemanggilan tergugat
dalam perkara prodeo
Pemanggilan pemahaman pihak-pihak yang berperkara
dalam perkara prodeo (gugat dengan Cuma-Cuma) tetap dilaksanakan sebagaimana dalam perkara biasa. Pemanggilan itu dapat
dilaksanakan apabila yang bersangkutan telah mengajukan permohonan kepada
pengadilan agama yang berwenang memeriksa perkara tersebut baik secara lisan
maupun tertulis dan pengadilan tersebut telah memberi izin kepada yang
bersangkutan untuk beracara secara prodeo. Pemanggilan dilaksanakan oleh Juru
Sita dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh pengadilan agama. [8]
D.
Tata Ruang Persidangan
Sebagaimana diketahui
bahwa sidang pengadilan berlainan dengan sidang-sidang biasa, ia mempunyai
aturan-aturan tertentu sebagai diuraikan dibawah ini.
Meja Sidang segi empat panjang, bertutup kain planel
berwarna hijau lumut, panjang meja diperkirakan minimal untuk kursi hakim
ditambah dengan prinsip administrasi perkantoran modern. Meja sidang ini
menurut surat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1986, tentang pembakuan
perlengkapan kerja dilingkungan departemen Agama, berukuran 150 cm lebar, 300
cm Panjang. Menurut Direktorat pembinaan badan peradilan agama islam, dalam
buku pedoman kerja pengadilan agama islam disebutkan lebar 100 cm, dan panjang
175 cm.
Di sebelah kanan meja sidang
dipasang bendera merah putih dan di sebelah kirinya dipasang lambing pengadilan
Agama. Tertempel pada dinding belakang meja adalah lambing Negara garuda. Dalam
ruang sidang tidaklah perlu dipasang gambar presiden karena pada saat
persigangan hakim hanya tunduk pada Negara saja. Susunan kursi
hakim di muka sidang pengadilan agama nampaknya belum kontan, masih memakai dua
macam cara:
a. Ketua ditengah-tengah,
kiri kanannya anggota, paling kiri sendiri adalah panitera sidang
b. Panitera sidang paling kiri, selanjutnya ke kanan adalah ketua, anggota
yang lebih tua atau lebih muda di sini maksudnya adalah senioritas dalam
jabatan hakim, bukan berdasarkan usia.
Menurut surat edaran mahkamah agung nomor 22 tahun 1969, susunan majelis
sidang perkara perdata maupun pidana di
muka pengadilan umum adalah: panitera sidang paling kiri, terus berurutan
kekanan adalah ketua, anggota yang lebih tua dan anggota yang lebih muda, yaitu
seperti versi kedua yang di pakai oleh lingkungan peradilan agama kini.
Untuk perkara pidana, surat edaran ini tidak berlaku lagi karena sidang
perkara pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981-76,
Tentang hukum acara pidana, sudah diatur tersendiri, yaitu: ketua
ditengah-tengah, di kiri kanannya adalah anggota, sedangkan panitera adalah
antara ketua dan anggota (di sebelah kiri ketua) agak mundur sederet ke
belakang, memakai meja sendiri.
Berdasarkan aturan ini, peradilan umum perdata juga sudah banyak yang menerapkan
susunan majelis hakim menurut acara pidana tersebut. Di lingkungan peradilan
agama juga, jika ruang sidangnya sudah memungkinkan, dapat menerapkan yang
sama.
Di dalam ruang sidang ada kursi/bangku secukupnya untuk pihak-pihak,
saksi-saksi, pemegang kuasa, pengunjung dan sebagainya. Deretan kursi paling
depan adalah untuk pihak yang jaraknya dari meja sidang diperkirakan
secukupnya. Pihak penggugat ditempatkan di sebelah kiri tergugat sedangkan
tergugat di sebelah kanannya. (ini kode etik yang baik).
Perlengkapan sidang lainnya juga sudah tersedia,
seperti mic, (kalau sidang tidak dinyatakan tertutup), palu sidang
kitab suci Al-Qur’an yang dinyatakan perlu.[9]
A. Kesimpulan
Pendaftaran perkara harus memenuhi syarat-syarat
kelengkapan yang diajukan ke Pengadilan Agama yaitu dengan melalui
panitera. Setelah perkara terdaftar di
kepaniteraan Penanitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada
ketua Pengadilan Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang
kira-kira berbunyi “sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu
ketua pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan
mengadili masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis
hakim” (PMH).
Pemanggilan para pihak dilakukan
oleh Juru sita sebagaimana tersebut dalam Pasal 103 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tan tang peradilan Agama harus dilakukan dengan benar dan penuh tanggung
jawab. Juru sita dilarang menyampaikan panggilan dan pemberitahuan putusan di
luar yurisdiksi Pengadilan Agama yang memberikan perintah dan pemberitahuan putusan tersebut. Adapun teknis pemanggilan para pihak yang
berperkara sebagai berikut: Pemanggilan dalam
wilayah yurisdiksi, Panggilan di luar
wilayah yurisdiksi, Pemanggilan di liar
negeri dan Pemanggilan bagi tergugat yang gaib.
Dalam tata ruang Pengadilan,
terdapat meja Sidan segi empat panjang, bertutup kain planel berwarna hijau
lumut, panjang meja diperkirakan minimal untuk kursi hakim ditambah dengan
prinsip administrasi perkantoran modern. Di sebelah kanan meja sidang dipasang
bendera merah putih dan di sebelah kirinya dipasang lambing pengadilan Agama.
B.
Saran
Kalimat al hamdulillahirobbil’alamin
mengiringi penutup makalah ini.Serta tak lupa penyusun mengharap kritik dan
saran yang membangun bagi makalah ini, baik dalam segi penulisan maupun
subtansi pembahasan. Karena penyusun menyadari, makalah ini jauh dari nilai
kesempurnaan.
Al-Faruq. Asadulloh,
2009, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: penerbit pustaka yustisia
.
ar Rasyid. Roiha, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Djalil. Basiq, 2006, Peradilan
Agama di Indonesia, Jakarta: Putra Grafika,
Fauzan. M, 2007, Pokok-pokok
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta:Kencana.
Hamid. Andi Tahir,
2006, Beberapa Hal Baru Peradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta: Sinar
Grafika.
Manan. Abdulloh, 2006,
Penerapan Hukum Acara Perdata di
lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: kencana.
Zuhriah. Erfaniah,
2009, Peradilan Agama Indonesia, Malang:
UIN-Malang Press.
[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan
Agama Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2009)
[2] Dr.H. Roiha ar Rasyid, Hukum
Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal.75
[4] Dr.H. Roiha ar Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal.78
[5] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam,(Yogyakarta:
penerbit pustaka yustisia, 2009),hal.23
[6] Drs.H.A Basiq Djalil, Peradilan
Agama di Indonesia, (Jakarta: Putra Grafika, 2006) hal.165
[7] Andi Tahir Hamid, Beberapa
Hal Baru Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 108
[8] Dr. h. Abdulloh Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: kencana 2006),
hal.135