Hukum
materil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan
perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap
warga masyarakat bagaimana mereka berbuat atau tidak berbuat didalam
masyarakat.
Adanya hukum
bukan hanya untuk dibaca dan dipelajari saja, melainkan untuk dilaksanakan dan
ditaati. Pelaksanaan hukum perdata materil umumnya diserahkan pada
individu-individu karena memang hukum perdata hanya mengatur hubungan antar
individu, akan tetapi ketika dalam perjalanannya tentu saja ada saja bentuk
pelanggaran hukum yang dapat merugikan salah satu pihak maka dari itu hukum
perdata materil harus dipertahankan yaitu dengan melalui suatu proses
persidangan maka dari itu adanya hukum acara perdata atau hukum formil adalah
suatu keniscayaan.
1.
Bagaimana definisi hukum
acara perdata?
2.
Bagaimana sejarah hukum
acara perdata di Indonesia?
3.
Apa saja yang menjadi
sumber hukum acara perdata?
1.
Mengetahui definisi hukum
acara perdata.
2.
Mengetahui sejarah hukum
acara perdata di Indonesia
3.
Mengetahui apa saja yang
menjadi sumber hukum acara perdata.
Untuk
melaksanakan hukum perdata materiel terutama dalam hal adanya suatu pelanggaran
atau ntuk mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiel, dalam hal ada
tuntutan hak diperlukan serangkaian peraturan-peraturan hukum laindisamping
hukum perdata materiel itu sendiri. Peraturan inilah yang disebut dengan hukum
perdata formil atau hukum acara perdata,
Hukum acara
perdata dapat diartikan sebagai berikut:
“Hukum acara perdata ialah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiel dengan perantara hakim (pengadilan).”[1]
Adapun
pengertian hukum acara perdata menurut beberapa ahli ialah:
·
R.Subekti, Hukum
acara itu mengabdi kepada hokum materiil, maka dengan sendirinya setiap
perkembangan dalam hokum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan
penyesuaian hokum acaranya.
·
Abdul Kadir
Muhammad, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan ( hakim) sejak diajukan gugatan
sampai dengan putusan hakim.
·
Wirjono Prodjodikoro,
“Hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalanya peraturan-peraturan hokum perdata”
·
Sudikno Mertokusumo, Hukum
acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim atau
peraturan hokum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hokum
perdata materil. Kongkretnya: Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak,
memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya.
·
MH.Tirtaamidjaja,
Hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materiil.
Dari beberapa pengertian
diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa hukum acara perdata adalah
suatu peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak, menerima serta memutus dan pelaksanaan daripada putusannya.
Berbicara
mengenai sejarah hukum acara perdata, maka ada dua hal yang akan diuraikan
yaitu tentang sejarah ketentuan peundang-undangan yang mengatur hukum acara di
peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia.
Sebagaimana
diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan
peradilan umum adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR ini mengatur
tentang acara di bidang perdata dan bidang pidana. Dengan berlakunya UU No.8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara
pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi.
Nama semula
dari HIR adalah Inlandsch Reglement (IR), yang berarti reglemen Bumiputera.
Perancang IR itu adalah Mr. HL. Wichers,
waktu itu presiden dari Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di
Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jendral
Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas
untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang “administrasi polisi dan
proses perdata serta proses pidana” bagi golongan bumiputera. Dengan uraian
yang panjang itu dimaksudkan: hukum acara perdata dan pidana. Dalam waktu
relative singkat, yaitu belum sampai satu tahun, Mr. Wichers berhasil
mengajukan sebuah rencana pengaturan acara perdata dan pidana, yang terdiri
atas 432 pasal.
Reglement
Indonesia atau IR ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah, tanggal 5 April 1848,
Staatsblad 1848 No.16 dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de
politie, de burgerlijke rechtpleging en de strafvordering onder de Indonesiers
de vreemde Oosterlingen op Java en Madura atau lazim disebut HIR. Disingkat IR
dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
Pembaruan IR
menjadi HIR dalam tahun 1941 (staatblad 1941) ternyata tidak membawa perubahan
suatu apapun pada hukum acara perdata di muka pengadilan negeri. Adapun yang
dinamakan pembaruan pada IR itu sebetulnya hanya terjadi dalam bidang pidana
saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan. Terutama
pembaruan itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum
(Openbare Ninisteries) yang berdiri sendiri dan langsung berada dibawah
pimpinan Procureur General, sebab dalam IR apa yang dinamakan jaksa itu pada
hakikatnya tidak lain dan tidak lebih dari pada seorang bawahan dari asisten
residen, yang adalah seorang pejabat pamongraja. Jadi jaksa waktu itu adalah
lain sekali dari pada penuntut umum bagi
golongan Eropa yang betul-betul merupakan suatu aparatur Negara yang merdeka
yang terdiri atas Officieren vas justice yang semuanya adalah sarjana hukum.
Keberadaan itu oleh Pemerintah Hindia Belanda sudah lama dirasakan sebagai
suatu penghinaan bagi golongan penduduk asli, maka sewaktu timbul kegoncangan
dikawasan Samudera Pasifik dengan pecahnya Perang Belanda memberikan hadiah
berupa kejaksaan (Openbare Ninisteries) yang berdiri sendiri (zelfstanding).
Dengan dimulai dikota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya secara berangsur-angsur didirikan Parket van
de Officer van justice bij de landraad tahun 1941 ( R Subekti 1982:3-4) .
Pada zaman
Hindia Beanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan dibagi atas
peradilan gubernemen dan peradilan pribumi. Peradilan Gubernemen di Jawa dan
Madura di satu pihak dan di luar jawa di lain pihak. Dibedakan peradilan untuk
golongan Eropa dan untuk Bumiputera. Pada umumnya peradilan gubernemen untuk
golongan Eropa pada tingkat pertama ialah Raad van Justitie sedangkan untuk
golongan Bumiputera ialah Landraad. Kemudian Ran van Justitie ini juga menjadi
peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh Landraad. Hakim-kaim
pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu. Banyak orang Eropa (Belanda)
menjadi hakim Landraad. Dan adapula orang Bumiputera di Jawa menjadi hakim
pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang Eropa.
Orang Timur
dipecah dalam urusan peradilan ini.Dalam perkara perdata, orang Cina tunduk
pada system peradilan Eropa sedangkan dalam perkara pidana tunduk kepada
peradilan Bumiputera. Orang Timur asing lain, baik dalam perkara perdata maupun
dalam perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumiputera. Pada puncaknya,
peradilan Hindia Belanda ada Hoogerechtscof itu ada procureur general (semacam
Jaksa Agung). Sebagaimana telah disebutkan di muka, bentuk peradilan gubernemen
itu bervariasi, maka berbeda antara susunan pengadilan gubernemen di
Jawa-Madura di satu pihak dan luar Jawa-Madura di lain pihak. Susunan
pengadilan di Jawa-Madura diatur dalam RO yang mulai berlaku 1Mei 1848,
sedangkan susunan pengadilan di luar Jawa dan Madura diatur dalam
Rechtsreglement Buitengewesten, mulai berlaku 1 Juli 1927.
Pada masa
pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan system peradilan, kecuali
hapusnya perbedaan golongan penduduk, dan oleh karena itu hapuslah Raad van
Justitie sebagai peradilan Golongan Eropa. Hal ini diatur dalam Usama Serei
No.1 Tahun 1942.
Sesudah
proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Dalam UUD
1945, dasar peradilan terdapat dalam Pasal 24. Sebagai perwujudan Pasal 24 UUD
1945, dibuatlah UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
·
Peradilan umum
·
Peradilan Agama
·
Peradilan Militer
·
Peradilan Tata Usaha Negara
Sumber-sumber
hukum acara perdata tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
HIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia, S. 1848 No. 16 jo.
S. 1941 No. 44. Peraturan ini khusus untuk daerah Jawa dan Madura.
2.
RBg. (Rechtsreglement
Buitengewesten) atau Reglement Daerah Seberang, S. 1927 No. 227.
Peraturan ini untuk daerah luar Jawa dan Madura.
3.
Rv. (Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering) S. 1847 No 52 jo. S. 1849 No. 63. Peraturan
ini sebenarnya berlaku untuk peradilan Raad van Justite yang dikhususkan bagi
golongan Eropa, sehingga saat ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi, namun
dalam beberapa hal tetap dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan
dalam HIR/RBg. tidak memberikan pengaturan.
4.
B.W. (Burgerlijk
Wetboek) buku IV tentang pembuktian dan daluarsa.
5.
UU No. 20 Tahun 1947
tentang banding untuk Daerah Jawa dan Madura.
6.
UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
7.
UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU
No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
8.
UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU
No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
9.
Yurisprudensi-yurisprudensi
tentang Hukum Acara Perdata.
10. Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.
[2]
·
hukum acara perdata adalah suatu peraturan hukum yang mengatur
tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, menerima serta memutus dan
pelaksanaan daripada putusannya.
Sebagaimana
diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan
peradilan umum adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR ini mengatur
tentang acara di bidang perdata dan bidang pidana. Dengan berlakunya UU No.8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara
pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi. Sesudah proklamasi tanggal 17
Agustus 1945 keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi “Segala badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Sebagai makhluk social kita harus mampu
mempertahankan dan memperjuangkan hak yang kita miliki. Disamping itu kita juga
harus bias menghormati dan menjaga hak orang lain karena hak kita dibatasi oleh
hak orang lain. Dan jangan sampai pula hak kita
dilanggar oleh orang lain.
Sugeng,
Bambang dan Sujayadi, “Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen
Litigasi”, Jakarta: Kencana, 2012.
Moh. Taufik
Makarso. “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata”. Jakarta:PT Asdi Mahasatya. 2004.
[1] Bambang
Sugeng dan Sujayadi, “Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen
Litigasi”, Jakarta: Kencana, 2012. Hal 2
[2] Bambang
Sugeng dan Sujayadi, “Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen
Litigasi. Hal. 3