BAB I
Indonesia yang notabene adalah negara
yang menganut prinsip “rule of law” telah menumbuhkan sebuah negara yang
berdasarkan pada kedaulatan hukum. Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi salah satu dari tujuan segala
elemen di dalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat
kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang
terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya; maka tuntutan hukum
yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan.
Dalam hal ini, pruduk hukum yang
dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan
yang ada di indonesia, telah ditentukan apa saja yang boleh di hasilkan oleh
peradilan tersebut. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia
memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di
Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama pada awalnya diatur
dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai
peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali. Dengan adanya perubahan
tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang produk
hukum di pengadilan pada
lingkungan Peradilan Agama.
1. Apa sajakah yang termasuk
produk Peradilan Agama?
2. Bagaimana Penjelasan dari
Macam-macam Produk Peradilan Agama?
1. Mengetahui macam-macam
Produk Peradilan Agama.
2. Mengetahui penjelasan dari
Produk-produk Peradilan Agama.
Setelah Pengadilan
Agama memeriksa perkara, maka ia harus mengadilinya atau membeikan putusan dan
mengeluarkan produknya. Produk-produk hukum di lingkungan peradilan agama pada
prinsipnya dengan produk-produk di lingkungan peradilan umum, yang pada umumnya
sesuai dengan pembagian menurut ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya. Pasal 60 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama menyebutkan:
“Penetapan dan putusan
Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.”
Pasal; ini memberikan seinyal bahwa
pengadilan agama hanya mengenal dua macam produk hukum, yaitu:
1. Putusan
2. Penetapan
Sebelum Undang-Undang ini terbit,
pengadilan agama memiliki produk yang ke tiga, yaitu: Surat Tentang Terjadinya
Talak (SKT3), yang kini tidak ada lagi.
a. Pengertian Putusan
Putusan disebut vonnis
(Belanda) atau Al Qadha’ (Arab). yaitu produk Pengadilan Agama
karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan
“tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini dapat diistilahkan dengan “produk
pengadilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.[1]
Penjelasan pasal 10 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: “Putusan adalah
keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa”.
Kemudian Gemala Dewi[2] memberikan
definisi lebih lanjut tentang pengertian putusan ini sebagai berikut, bahwa
putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan kedalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai suatu bentuk
produk pengadilalan (Agama) sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara
gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Sedangkan menurut A. Mukti Arto[3]
memberikan definisi putusan sebagai berikut: “Putusan adalah pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai
hasil pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Dari pemaparan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Putusan adalah: pernyataan hakim yang tertulis atas
perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama
adalah peradilan perdata) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak
yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu atau untuk
melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu memiliki
salah satu di antara dua sifat;
·
Condemnatoir, artinya menghukum
·
Constitutoir, artinya menciptakan.
Perintah
dari Pengadilan ini, jika tidak diturut dengan sukarela, dapat diperintahkan
untuk dilaksanakan secara paksa disebut eksekusi.
b. Macam-Macam Putusan
Mengenai
macam-macam putusan, HIR tidak mengaturnya secara terperinci. Di berbagai
literatur, pembagian macam atau jenis putusan tersebut terdapat keaneragaman.
Tentang macam-macam putusan ini tidak terdapat keseragaman dalam penjabarannya.
Menurut
A. Mukti Arto[4]
macam-macam putusan dapat diklarifikasikan berdasarkan 4 segi pandang, yaitu:
1)
Jenis
Putusan Dilihat Dari Segi Fungsinya
Kalau dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri
perkara, maka putusan pengadialan agama ada dua macam, yaitu;
a)
Putusan Akhir
Putusan Akhir
ialah putusan putusan yang mengakhiri pemmerikasaan di persidangan, baik yang
telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum menempuh semua tahap
pemeriksaan.[5]
Misalnya ; putusan verstek yang tidak diajukan verzet, putusan
yang menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa, dll.
b)
Putusan Sela
Putusan Sela ialah putusan
yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk
memperlancar jalannya pemeriksaan.[6]
Misalnya putusan putusan terhadap tuntutan provisionil, dll.
Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh
terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela dibuat seperti putusan
biasa tetapi tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis dalam Berita Acara
Persidangan (BAP) saja.
2)
Jenis
Putusan Dilihat Dari Segi Hadir Tidaknya Para Pihak
Dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan
dijatuhkan, hal ini ada tiga macam, yaitu;
Putusan Gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena Penggugat /Pemohon tidak hadir. Putusan Gugur
dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan
gugatan/permohonan.
Putusan Gugur dapat dijatuhkan apabila terpenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
·
Penggugat telah
dipanggil dengan resmi
·
Penggugat tidak hadir
dalam sidang dan tidak pula mewakilkan orang lain
·
Tergugat hadir dalam
sidang
·
Tergugat mohon
keputusan
·
Tergugat adalah tunggal
Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena
tergugat tidak hadir.[9]
Keputusan Verstek diatur dalam Pasal 125 HIR dan
196-197 HIR, Pasal 148-153 R.Bg. dan 207-208 R.Bg. UU Nomor 20 Tahun 1947 dan
SEMA Nomor 9 tahun 1964.
Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah
terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
·
Tergugat telah
dipanggil secara resmi
·
Tergugat tidak hadir
dalam persidangan dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain
·
Tergugat tidak
mengajukan tangkisan /eksepsi mengenai kewenangan
·
Penggugat hadir dalam
persidangan
·
Penggugat mohon
keputusan
Meskipun verstek
ini sudah berupa keputusan, namun pihak terguagat dapat mengajukan perlawanan
(verzet) sebagai bentuk jawaban tergugat. Dan apabila tergugat mengajukan
verzet maka kepuutusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan ke
tahap berikutnya. Namun apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat
tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia juga harus mengajukan banding.[10]
c) Putusan
Kontradiktoir
Putusan kontradiktoi adalah putusan akhir yang
dijatuhkan pada saat sidang tanpa kehadiran para pihak. Dalam pemerikasaan
putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah
hadir dalam sidang. Terhadap putusan ini dapatdimintakan banding.
3)
Jenis
Putusan Dilihat Dari Sfatnya[11]
Menurut sifatnya,
putusan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
a)
Putusan declaratoir. Yaitu putusan
yang menyatakan atau menerangkan keadaan atau status hukum. Misalnya pernyataan adanya hubungan suami
istri dalam perkara perceraian yang perkawinannya tidak tercatat pada Pegawa Pencatat Nikah setempat.
b) Putusan Constitutif. Yaitu putusan yang
meniadakan suatu keadaan hukum dan menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
Misalnya putusan perceraian, semula terikat dalam perkawinan menjadi
perkawinannya putus karena peceraian.
c)
Putusan condemnatoir. Yaitu putusan
yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat
untuk menyerahkan tanah dan bangunan untuk dibagi waris.
c. Asas Pelaksanaan
Putusan
Ada beberapa
asas dalam pelaksanaan putusan, yaitu[12]:
1)
Putusan
pengadilan telah berkekeuatan hukum tetap, kecuali pelaksanaan putusan uitvoerbaar
bij voorraad, putusan provisi[13], putusan perdamaian[14], dan eksekusi berdasarkan Grose akta.[15]
2)
Putusan
tidak dilaksanakan secara sukarela[16], meskipun sudah dilakukan teguran(aanmaning)
oleh ketua Pengadilan Agama.
3)
Putusan
mengandung amar condemnatoir . Ciri putusan yang bersifat condemnatoir
mengandung salah satu amar diawali dengan kata menghukum atau memerintahkan.
4)
Eksekusi
di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.[17] Pengadilan yang berwenang mengadakan eksekusi adalah
Pengadilan Agamayang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang
diberi delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya.
d. Bentuk dan Isi putusan
Bila
diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, bentuk dan isi putusan
Pengadilan Agama secara singkat adalah
sebagai berikut;
1)
Bagian
kepala putusan
Bagian ini memuat kata “PUTUSAN” atau kalau salinan,
adalah “SALINAN PUTUSAN”. Baris di bawah dari kata itu adalahNomor Putusan,
yaitu menurut nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun
pendaftaran perkara. Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua
berbunyi “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” untuk memenuhi perintah Pasal 57 ayat (2)
UU Nomor 7 Tahun1989.[18]
2)
Nama
Pengadilan
Sesudah yang tersebut di butir a, maka dicantumkan
pada baris selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus sekaligus disertai
menyebutkan jenis perkara, misalnya “Pengadilan Agama Karanganyar, yanag telah
memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara gugat cerai.”
3)
Identitas
pihak-pihak
Penyebutan identitas
pihak, dimulai dari identitas penggugat, kemudian identitas tergugat.
Penyebutan keduanya dipisahkan dengan tulisan pada alenia tersendiri yang
berbunyi “berlawanan dengan “.
Identitas pihak ini
meliputi; nama, bin/binti siapa, alias atau julukan, umur, agama, pekerjaan,
tempat tinggal terakhir, sebagi penggugat atau tergugat.
4)
Duduk
perkaranya
Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat,
jawaban tergugat, keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang
selengkapnya, namun dikutip secara singkat, jelas dan tepat serta kronologis.
5)
Tentang
pertimbangan hukum
Di dalamnya dicantumkan alasan memutus (pertimbangan)
yang biasanya dimulai dengan kata
“menimbang”. Di dalam bagian ini diutarakan “duduk perkaranya” tedahulu, yaitu
keteranganpihak-pihak berikut dalil-dalilnya, alat bukti dll.
6)
Dasar
hukum
Dasar memutus biasanya dimulai dengan kata
“mengingat”. Di dalam bagian ini disebutkan dasar hukum putusan baik yang
bersumber dari perundang-undangan negara maupun dasar hukum syara’.
7)
Diktum
atau amar putusan
Amar putusan didahului dengan kata “MENGADILI” kemudian diikuti petitum
berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal yang dikabulkan
dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima.
8)
Penutup
Memuat kapan putusan
dijatuhkan dan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, majelis
hakim yang memeriksa, panitera yang membantu, kehadiran apra pihak dalam
pembacaan putusan. Putusan ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera yang
ikut sidang.
Pada akhir putusan dicantumkan princian biaya perkara yang meliputi[19]:
1)
Biaya kepaniteraan dan materai.
2)
Biaya untuk para saksi, saksi ahli,
penerjemah dan pengambil sumpah.
3) Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan
lain yang diperlukan.
4)
Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan
lain-lain atas perintah pengadilan.
e. Kekuatan Putusan
Putusan
pengadilan memiliki tiga kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat (bindende
kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), (3) kekuatan
eksekusi (executoriale kracht)
a. Pengertian
Penetapan
Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda).
Yaitu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara
permohonan/volountair.[20]
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap,[21]
penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan.
Produk ini termasuk produk Pengadilan Agama
dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan dengan jurisdictio
voluntaria. Disebut peradilan yang tidak sesungguhnya karena di sana hanya
ada permohonan yang memohon untuk ditetapkan sesuatu, sedangkan ia tidak
berperkara dengan lawan.
Penetapan ini muncul sebagai produk pengadilan
atas permohonan pemohon yang tidak berlawan, maka diktum penetapan tidak akan
pernah berbunyi “menghukum”, melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire)
atau menciptakan (constitutoire).
b.
Macam-Macam
Penetapan
Apabila
dilihat dari sisi kemurnian bentuk voluntaria dari suatu penetapan, maka
penetapan ini dapat kita bagi menjadi dua macam, yaitu[22]:
1)
Penetapan
murni dalam bentuk voluntaria;
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penetapan merupakan
hasil dari perkara permohonan (voluntair) yang bersifat tidak berlawanan
dari para pihak. Inilah yang dimaksud dengan
perkara murni voluntaria. Secara singkat cirinya adalah:
·
Merupakan gugat secara
“sepihak” atau pihaknya hanya berdiri dari pemohon.
·
Tidak ditujukan untuk
menyelesaikan suatu persengketaan. Tujuannya hanya untuk menetapkan suatu
keadaan atau setatus tertentu bagi diri pemohon.
·
Petitum dan amar
permohonan bersifat “deklatoir”
2)
Penetapan
bukan dalam bentuk voluntaria;
Selain penetapan dalam
bentuk murni voluntaria, di lingkungan Peradilan Agama ada beberapa jenis
perkara di bidang perkawinan yang produk Pengadilan Agamanya berupa peneapan,
tapi bukan merupakan voluntaria murni. Meskipun di dalam produk penetapan tersebut
ada pihak pemohon dan termohon, tetapi para pihak tersebut harus dianggap
sebagai pengguggat dan tergugat, sehingga penetapan ini harus dianggap sebagai
putusan.
Contoh dari jenis ini adalah penetapan ikrar talak. Mengenai
penetapan ikrar talak ini diatur dalam pasal 66 dan pasal 69 jo. Pasal 82 UU
No. 7 tahun 1989. Dari ketiga dasar hukum tersebut terdapat adanya kontraversi.
Pasal 66 menyatakan bahwa ikrar talak merupakan permohonan (volunter)
yang menghasilkan produk hukum penetapan (dengan sifat hukum yang “deklaratoir”).
Namun, proses pemeriksaannya diperintahkan bersifat “contradictoir”.
Bahkan kepada pihak istri diberikan hak mutlak untuk mengajukan upaya banding
dan kasasi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 60 dan 63. Dalam hal ini sifat perkara
permohonan tidak diberlakukan sepenuhnya.
Selain dari kedua jenis di atas, ada juga penetapan Hakim
yang tidak dimaksudkan sebagai produk Peradilan, namu hanya bersifat teknis
administratif dalam praktik beracara di Pengadilan. Contoh dari jenis ini,misalnya:
penetapan hari sidang, penetapan perintah sita jaminan, Penetapan Perintah
Pemberitahuan Isi Putusan dan lain sebagainya. Karena bukan merupakan produk
peradilan, maka penetapan semacam ini tidak perlu diucapkan dalam sidang
terbuka, serta tidak memakai titel “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.[23]
c.
Bentuk
dan Isi Penetapan
Bentuk
dan isi penetapan hampir sama saja dengan bentuk dan isi putusan walaupun ada
juga sedikit perbedaan. Di antaranya adalah:
1)
Identitas
pihak-pihak pada penetapan hanya memuat identitas pemohon. Kalaupun di situ
dimuat identitas termohon, tapi termohon di situ bukan pihak.
2)
Tidak
ada kata-kata “berlawanan dengan”.
3)
Tidak
akan ditemui kata-kata “tentang duduk perkaranya” seperti pada putusan,
melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
4)
Amar
penetapan hanya bersifat declaratoire
d.
Kekuatan
Penetapan
Putusan mempunyai 3 (tiga) kekuatan dan berlaku untuk
pihak-pihak maupun untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya
berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang
memperoleh hak daripadanya.
Contoh penetapan
seperti pengesahan nikah bagi keperluan pensiun Pegawai Negeri Sipil dari
suami-isteri yang tidak ada ssengketa antara keduanya, tetapi dulu-dulunya
mereka kawin belumbegitu tertib pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta
nikah.[24]
Dari pembahasan di atas maka dapat kita
simpulkan bahwa Pengadulan Agama
memiliki dua produk yang sah, yaitu:
1.
Putusan
2.
Penetapan
Adapun pengertian putusan adalah pernyataan hakim yang
tertulis atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Sedangkan penetapan, pengertiannya adalah
pernyataan hakim atas perkara permohonan.
Macam-macam Putusan
1)
Jenis
Putusan Dilihat Dari Segi Fungsinya
a)
Putusan Akhir
b)
Putusan Sela
2)
Jenis
Putusan Dilihat Dari Segi Hadir Tidaknya Para Pihak
a) Putusan Gugur
b) Putusan
Verstek
c) Putusan
Kontradiktoir
3)
Jenis
Putusan Dilihat Dari Sfatnya
a)
Putusan declaratoir. Yaitu putusan
yang menyatakan atau menerangkan
b) Putusan Constitutif. Yaitu putusan yang
meniadakan suatu keadaan
c)
Putusan condemnatoir. Yaitu putusan
yang bersifat menghukum kepada
Macam-macam
Penetapan
1)
Penetapan
murni dalam bentuk voluntaria;
2)
Penetapan
bukan dalam bentuk voluntaria;
Karya tulis yang sederhana ini tentu masih banyak kekurangan, dan penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki karya tulis ini.
Namun penulis juga berharap dengan adanya karya tulis ini bisa menambah
pengetahuan.
A. Mukti Arto, “Praktik Perkara Perdata Pada
Peradilan Agama”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1996.
Abdullah Tri Wahyudi. “Peradilan
Agama di indonesia”. (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar), 2004.
Dewi, Gemala, “Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama di Indonesia”, (Jakarta: Kencana), 2005.
Erfaniah Zuhriah. “Peradilan
Agama Indonesia Sejarah Pernikahan dan Realita”. (Malang: UIN Press). 2009.
Harahap, M. Yahya “kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989”, (Jakarta: Pustaka
Kartini), 1993.
Musthofa, SY, “Kepaniteraan Peradilan Agama”,
(Jakarta: Kencana), 2005.
Raihan A. Rasyid. “Hukum acara Peradilan Agama”.
(Jakarta: Rajawali Press), 2007.
Republik Indonesia. Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Lembaran Negara RI Tahun 1989, No. 49. Sekretariat Negara. Jakarta 1989.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2007),
203
Gemala
Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), 148
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) 245
A. Mukti Arto, Op., Cit.246
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di
Indonesia Sejarah Pernikahan dan Realita
(Malang: UIN-Malang Press, 2009), 270
Pasal 124 HIR/Pasal 148 R.Bg.
Pasal 125 HIR/Pasal 49 R.Bg.
Gemala Dewi,Op., Cit. 152
A. Raihan Rasyid , Op., Cit. 204
Musthofa, SY, Kepaniteraan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005), 109
Pasal 180 ayat (2) HIR/Pasal 191 ayat (1)
R.Bg.
Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1)
R.Bg. dan Pasal 54 Rv.
Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat (2)
R.Bg.
Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg.
Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206ayat (1) R.Bg.
A. Raihan Rasyid , Op., Cit. 204
Pasal 90 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989
Lihat Pasal 60 UU Nomor 7 Tahun 1989
M. Yahya Harahap, kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1993), 339
Gemala Dewi, Op.,Cit. 164
A. Mukti Arto, Op.,Cit. 2
Pasal 49 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989