A. Latar Belakang
Secara
etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan),
الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ).[i]
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah
atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Menafsirkan
Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan
kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia adalah
sumber pertama ajaraan islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran
terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu,
suatu keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan
ini.[ii]
Penafsiran
al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah
Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’
tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir
Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
·
Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
·
Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
C.
Tujuan Pembahasan
·
Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa rasul.
·
Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
·
Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.
BAB
II
SEJARAH ILMU TAFSIR
A. Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat
Pada saat
Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar
artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun
harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak
sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri
tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada
masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas
kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu
'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara
sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi
atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab
yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar,
dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping
itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai
murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota
tersebut, seperti:
a.
Said bin
Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu
'Abbas.
b.
Muhammad bin
Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin
Ka'ab.
c.
Al-Hasan
Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah
bin Mas'ud.
Gabungan
dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok
yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama
dari perkembangan tafsir.
Berlakunya
periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H,
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode
kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah
hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu
perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum
pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat,
dan tabi'in.
Pada mulanya
usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas
dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh
satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang
dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang
beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang
keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
"Bagaikan
intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang
terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda
mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari
apa yang anda lihat."
Muhammad
Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."[iii]
B. Tafsir di Masa Tabi’in
Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan
sebagai pusat perkembangan ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan
qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu
Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir adalah
orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti
Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu
juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang
tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.”[iv]
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan
ijtihad ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik
orang yang membolehkan dengan beberapa hadis, seperti
من تكلّم في
القرأن فأصاب فأخطأ
Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi
al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang
membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat
besar kepada Israiliyyat dan Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari
orang-orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya
kedalam tafsir. Menurut keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu
sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah
masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak
mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.
C. Tafsir pada Masa Tadwin
Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah.
Para ulama saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para
sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat,
kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian,
ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan
susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang
lain, para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf
tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai
kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah:
Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu
Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir
dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan
mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan
ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas
permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-muridnya di
masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy
mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan
dengan Ma’ani al-Quran.
D. Kodifikasi Ilmu Tafsir
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu:
·
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan
permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits
yang telah dibukukan sebelumnya.[v]
·
Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan
dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan
setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu
Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam
tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.[vi]
·
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas
sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini
menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang
menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat
kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut.[vii] Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب
عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal
para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang
Yahudi dan Nasroni.
·
Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai
dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil
aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan
periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang
keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum
seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti
ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.[viii]
·
Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan
tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti
yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu
Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan
Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.[ix]
Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan
barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di
timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di
barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang
dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah
(w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H
literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan
Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan
al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan
istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail
Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut
mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh
al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi
keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan
kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat
keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya
dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.
Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih
merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan
yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan
dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran
merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan
kutipan dari ensiklopedi tersebut.
BABIII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para
sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada
yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu
memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan
balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum
dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya.
Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran
al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan
abu ubaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash
Shiddieqy
M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), 237.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an. (Bandung:
Mizan. 1992). hlm. 72.