BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasyri’ secara istilah
adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan
orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi
dikalangan mereka. Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka mucul sebuah
permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama
(Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui)
dan masyarakat yang hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki
sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah
Tasyri’.
Tentunya melihat kondisi
tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk
menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini
tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai
beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan
seterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini, kami hanya memaparkan tentang
penegakan syariat Islam(Tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa
berbagai faktor sosial juga menjadi latar belakang turunnya Al-Qur’an. Banyak
hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’ periode
Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini
diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga
terlihat disana, akan tetapi bukan berarti Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai
tradisi orang Arab, karena diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk seluruh
umatnya.
Adapun pada periode
Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah.
Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’ yang
dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah
jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang
dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk
menerima hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali
ditanamkan dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan
keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka
menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’
pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada
masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi
Tasyri’.
1. Al-Qur’an dan Hadist pada periode ini menjadi
sebagai sumber penetapan Tasyri’, kemudian permasaalahan yang muncul adalah
keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber
Tasyri’ saat itu. Maka untuk lebih lengkapnya akan kita bahas pada bab
selanjutnya.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka
penulis dapat merangkaikan rumusan masalah sebagai berikut:
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Pembentukan Hukum Islam?
2. Bagaimana
pembinaan hukum islam pada masa Rasulullah?
3. Apa saja
yang menjadi landasan hukum islam periode Rasulullah?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui sejarah pembentukan hukum islam pada
masa Rasulullah.
2.
Mengetahui cara pembinaan hukum islam pada masa
Rasulullah.
3.
Mengetahui apa saja yang menjadi landasan hukum islam pada masa Rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembentukaan
Hukum Islam
Allah SWT. mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk
menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini
tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai
beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan
seterusnya.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase
Mekkah dan fase Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam
penerimaan Tasyri’ yang dibawa oleh Rasulullah ini
1. Tasyri’ Periode Mekkah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di
Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan
(ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat,
dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati
janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.[i]
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah
, karena akidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun
bentuknya.[ii] Sehingga
bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan
meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran
yang Turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan
mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang
disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari
kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek
moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan
oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan
hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka
agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran
dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling
dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan
pada Amat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai
perintah tuhannya.
Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan
tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali
setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan
pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang
tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode
revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju
penghambaan kepada Allah semata. Statu revolusi yang menghadirkan perubahan
fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan
masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi
Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi,
faktor diantaranya yatu :
- Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan
praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala
yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen
berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat
Mekkah.
- Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi
masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan
fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui
bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting. Mekkah makmur karena
letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan
mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah
adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat
mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.[iii]
2. Tasyri’
Periode Madinah
Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan
berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan
mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[iv] keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan
pembentukan undang-undang untuk mengatur perhubungan antara individu dari suatu
bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula perhubungan mereka dengan
bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode
penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan oleh karena
itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan
tersebut (ayat-ayat ahkam) Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun
social. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi,
Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan
justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah
tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena
selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.[v]
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi
pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi
semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan,
baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah,
jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala
hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak
dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab
pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang
telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama
kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah
yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah
SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau
beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis
dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau
sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal
itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses
perkembangan syariat pada periode ini.[vi] Pertama
adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam
Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu
wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti
ketika nabi salat para sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa
menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan
untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli
istri ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada
pula yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak
ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah
masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap
(periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan Siap dan
menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
B. Pembinaan
Hukum Islam
Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara empat dasar (asas):
1. Berangsur-angsur dalam
menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam masa tasyri’ dan
berlaku pula dalam macam-macam hukum yang disyariatkan. Hikmah dari
berangsur-angsurnnya masa turunnya hukum ialah agar secara bertahap mudah
diketahui isi undang-undangnya, materi demi materi, dan mudah dipahami
hukum-hukumnya secara sempurna, dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi
yang memerlukan penetapan hukum.
Adapun tujuan hukum diturunkan dan disyariatkan
secara berangsur-angsur adalah agar segenap umat pada masa pertama memeluk
agama Islam tidak dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan
maupun ingin ditinggalkan, sehingga segenap umat bersedia menerima dan
taklif.
Sebagaimana ketika Rasulullah ditanya masalah
khamer dan judi, sedang keduanya termasuk adat-istiadat yang kokoh dikalangan
mereka. maka beliau menjawab mereka dengan ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah: 219
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJy ø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
Ayat
tersebut tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, tetapi disuruh untuk
memahaminya terhadap perbuatan yang tidak banyak manfaatnya. kemudian Al-Qur’an
menjelaskan kepada mereka tentang shalat dalam keadaan mabuk sehingga mereka
tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa:
43
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Larangan ini
tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan dia menguatkannya. Kemudian Al-Qur’an menjelaskan larangan
sebagai keputusan secara tegas kepada suatu hukum.
2. Mengefisienkan pembuatan
undang-undang.
Disini hukum-hukum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sekedar
menurut kebutuhan-kebutuhan hukum yang diperlukan, serta merespon kejadian yang
mengharuskan adanya hukum. Hikmah pembinaan dari tasyri’ ini adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan mewujudkan kemaslahatan, maka sebaiknya pada
tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
zamannya, sehingga orang-orang yang terdahulu, kini, dan yang akan datang,
tidak menemukan kesulitan akibat peraturan-peraturan diluar kebutuhan dan
kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah
bahwa hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang
dan benda atau perjanjian atau transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh
dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah maka dengan mengefisienkan
undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak
ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan menurut asal).
3. Memberi kemudahan dan keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam
perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya
adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
Dalam keadaan khusus dimana hukum ‘adzimah
mendatangkan kesulitan, maka disyariatkanlah hukum rukhshah (keringanan). maka
dibolehkanlah hal-hal yang terlarang ketika terjadi darurat, dan dibolehkan
meninggalkan perbuatan wajib jika untuk menunaikannya terdapat kesulitan.
Adanya paksaan, keadaan sakit, bepergian, khilaf, lupa, dan ketidaktahuan,
merupakan alasan untuk keringanan hukum.
4. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’
(pembuat undang-undang) banyak memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan
manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada
berdasarkan ‘illat akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu adanya ‘illat
menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan hokum. untuk ini Allah
mensyariatkan sebagian hukum, kemudian membatalkan dan menghapusnya, Karena
kemaslahatan mengharuskan perubahan yang demikian.
Salah satu contohnya, mula-mula Allah mewajibkan
menghadap Baitul Maqdis ketika shalat, kemudian hukum ini dihapuskan dan
diganti dengan perintah menghadap Ka’bah ketika shalat.
Adanya penghapusan hukum, penggantian hukum, dan
perubahan hukum, menjadi bukti bahwa perundang-undangan dalam Islam ditetapkan
untuk kemaslahatan umat manusia. Untuk memeliharanya maka pembuat undang-undang
memperhatikan ‘urf (adat kebiasaan masyarakat diwaktu peraturan berlaku) selama
adat istiadat tersebut tidak merusak salah satu dasar dari pokok agama. Oleh
karena itu syari’ (pembuat undang-undang) memperhatikan adanya kafa’ah
(keseimbangan, kufu) dalam perkawinan, memperhatikan ‘ashabah dalam hukum
pewarisan dan perwalian, serta mewajibkan pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka perlu
diperhatikan adat kebiasaan serta hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat
setempat (lokal), selama yang demikian itu tidak berlawanan dengan pokok-pokok
agama serta tidak mendatangkan kemudharatan.[vii]
C. Sumber Hukum
Islam pada Masa Rasulullah SAW
Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai dua sumber[viii],
yaitu :
1. Wahyu Ilahi (Al-Quran)
Al-quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat
manusia. Dalam bahasa “Fazlurrahman,[ix] Al-Quran
adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis menciptakan
masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh
dan religius dengan keadaan yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng
memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan.
Ketika
terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu
peristiwa, perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan
wahyu kepada Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan
hukum yang hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat
Islam apa-apa yang sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi
undang-undang yang wajib diikuti.
Ada
karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun al-quran
diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam
tuhan tersebut adalah universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah
“kemanusiaan(problematika kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini
dan masa seterusnya.
2. Ijtihad Rasulullah
(Sunnah)
Sunnah
adalah sumber fiqih kedua setelah al-quran. Dalam terminologi muhaddisin,
fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-quran,
sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik)
mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti
perkembangan turunnya syariat. Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan
melihat bahwa sunnah bertujuan menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan
al-quran.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan,
sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah ayat al-quran yang menunjukkan
hukum yang dikehendakinya, maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui
ketentuan hukumnya.
Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan
beliau untuk memutusi hukum sesuatu masalah, atau memberi fatwa hukum atau
menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit
dari hasil ijtihad beliau itu juga menjdai undang-undang yang wajib diikuti.
Setiap hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah
dari wahyu ilahi (al-quran) dan ijtihad Nabi (Sunnah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada periode Rasulullah pembentukan tasyri’ terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Periode
Makkah
Pada periode makiyyah Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan
Akidah dan moral masyarakat makkah yang bertolak belakang dengan kebiasaan
masyarakat mekkah pada masa itu. Contohya, kebiasaan masyarakat mekkah menyembah berhala, berjudi, meminum khamer,
membunuh bayi perempuan, dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad dan
berdakwah secara terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam yang mengajak
masyarakat mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan
menyembah kepada Allah SWT.
Ketika Rasulullah mengajak masyarakat makkah untuk menyembah Allah
dan meninggalkan kebiasaan nenek moyang terdahulu, terdapat perlawanan dari
masyarakat mekkah yang membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga
Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Inti pembentukan Hukum pada periode Makkiyah adalah membentuk akidah
yang sesuai dengan ajaran Islam, dan menyembah kepada Allah SWT.
b. Periode
Madinah
Berbeda dengan periode sebelumnya pada periode madinah sudah banyak
masyarakat yang memeluk Agama Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang
tertata dengan rapih. Kemudian mendorong Tasyri’ sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan,
baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah,
jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan
segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Setelah pembentukan Hukum maka
munculah Pembinaan Hukum Pada Masa Rasulullah terdapat 4 dasar pembentukan
Hukum Islam yaitu:
a. Berangsur-angsur
dalam penetapan hukum.
b. Mengefisienkan
Pembuatan Undang-Undang.
c. Memberi
Kemudahan dan Keringanan.
d. Berjalannya
undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih
dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan
kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya pagi para pembaca.
`
DAFTAR PUSTAKA
Asghar ali engineer, Asal-usul dan
Perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan IKAPI.
Zuhri, Muhammad Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah, 1996. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sirri, Mun’in Sejarah Fiqih Islam Sebuah
Pengantar, 1995. Risalah Gusti.
Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.
Khallaf, Wahab Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, 1974.
Solo: CV.Ramadhani