BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika
kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya
dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan
arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri,
ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika
memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan
juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan
menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an
tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir
membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika
kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya
tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan
mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan
memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari
mantuq dan mafhum serta kehujahannya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa definisi mantuq dan
mafhum?
2. Bagaimama contoh dan
pembagiannya?
3. Bagaimana kehujjahan
mantuq dan mafhum?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui definisi mantuq dan
mafhum.
2. Mengetahui contoh dan pembagiannya.
3. Mengetahui kehujjahan mantuq dan
mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan
Pembagiannya
Mantuq secara bahasa
adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu
pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu
sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah[i], dilâlah lafal
nash dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat
al-mantûq (دلالـة
الـمـنطوق) dan
dilâlat al-mafhûm دلالـة
الـمـفـهـوم)). Yang
dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة
الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian)
sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat
dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat
dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh
dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kamu
(menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang
telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini
dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan
secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami
dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua
macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.
1. Mantûq Sarih
Menurut
Wahbah Zuhaili[ii] yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan
lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash.
Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan
dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[iii]
Pada dasarnya mantuq ada
yang berupa nas, zahir:
a.
Nash
Adalah lafadz yang bentuknya
telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung
kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari
dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash
ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[iv]
b. Zahir
Adalah suatu perkara yang
menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi
disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah:
173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan
terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
2. Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu
sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3
macam:
a. Dalalat al-Ima’, yaitu suatu
pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui
pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut
suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat
Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ
جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه
الترمذى}
“Dari Jabir bin Abdillah, dari
Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah)
tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping
menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui
dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang
menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[v]
b. Dalalat al-Isyarah adalah
suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian
aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang
ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun”[vi]
c. Dalalat al-Iqtida’ adalah
pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi
tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan
itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي
ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari
berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku
tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu
Majah)
Hadits tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat
Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan
dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat
kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi
: diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa
atau karena keterpaksaan.[vii]
B. Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari
suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu
lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang
diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat
al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang
didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’
ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا
تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kamu mengucapkan
kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat
dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik
orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak
disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan
perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu
petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu
berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai
dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut
mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang
tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[viii]
a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih
utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt
dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan
kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang)
apalagi memukulnya.
b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama
hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak
yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang
menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim,
yang berartti dilarang (haram).
2. Mafhum mukhalafah
Adalah
pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami
selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah
swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada
hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat
dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si
mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri
terbagi menjadi :
a. Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang
dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat
tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan
itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah
binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[ix]
Mafhum sifat ada 3 macam:
1) Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan
kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti
bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2)
Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS.
Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا
الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ
مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا
بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ
صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ
فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa
seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk
dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa
yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa
lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya
hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja”
dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3)
‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ
فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan
bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya
ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b. Mafhum illat adalah
menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena
memabukkan.[x]
c. Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah
lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga
lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam
firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan
sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah
membasuh tangan sampai kepada siku.
d. Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.[xi]
e. Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman
Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah
bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena
itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan
dimintai pertolongan.[xii]
f. Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi
fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum
yang sebaliknya. Seperti
dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah
istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[xiii]
C. Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena
lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’
bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum
laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu
sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau
mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini
tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang
menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan
memberikan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii
jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut
pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah
(dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:[xiv]
a. Apa yang disebutkan bukan
dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu”
dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan
istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya
(maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak
perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b. Apa yang
disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS.
Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di
samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka
sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah
tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya
tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat
realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping
Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat
ditegakkan dalilnya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari
berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan
bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”,
sedangkan menurut istilah yaitu
pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum
secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut
istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab).
Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi, illat, ghayah,
laqaab, hasr dan syarat).
Mantuq dan
mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah
terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu
Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul
Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Sya’ban,
al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul
Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Tim Penyusun. Studi Al-Qur’an.
Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Zuhaili,
Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986