BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Ibn Taimiyah adalah ahli fikih mazhab Hambali.
Pengaruh pemikirannya sangat besar terhadap gerakan Wahhabi, dakwah gerakan
Sanusi, dan kelompok-kelompok agama yang ekstrem yang ada di dunia Islam saat
ini.[1]
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada
banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah
efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah),
seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu.
Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata
ini –Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin
bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap
sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik
tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan
gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak
memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini
dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan
yang semacamnya.
Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan
pemunculan tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan”
Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu
saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu
Taimiyah untuk peradaban manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
Biografi Ibnu Taimiyah?
2. Apa saja
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui Biografi Ibnu Taimiyah;
2. Untuk
mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah.
D. Metode
Penulisan
Adapun metode
dalam penulisan ini adalah dengan
menggunakan
penelitian kepustakaan (Library Research). yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan ataupun
karya-karya terdahulu yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang diangkat, karena
penelitian ini tentang tokoh maka dalam hal ini pendekatan historis dianggap
paling menunjang dalam analisis data.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin
Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin
tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal
20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh
penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya
bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin
Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.[2]
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga
pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan
pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.[3]Para
ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iti hati
terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan
pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan
oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik,
antroporpisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo
kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan
kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan
dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad
dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya
mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di
dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat
mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam
besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan
fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia
juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar
al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah
berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[4]
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain
yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu
Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan
hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia
berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar
menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan
bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia
20 tahun.
2. Kesiapan
pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar
dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam
penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk
menikah hingga akhir hayatnya.
3. Kemerdekaan
pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya
dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya
pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak
pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada
seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam
yang empat.”[5]
B.
Pemikiran Ibnu Taimiyah
1.
Ibnu Taimiyah
dan Tasawuf
Sering
kita mendengar bahwa Ibnu Taimiyah itu anti tasawuf dan penentang sufi, padahal
kalau diperhatikan dari sikap dan pandangannya dia adalah seorang sufi dan
pengikut ajaran tasawuf suni (yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah), meskipun
ia tidak mengistilahkan ajaran tasawuf dengan istilah tersebut. Istilah yang
sering dipakai oleh Ibnu Taimiyah adalah istilah suluk, akan tetapi
substansinya adalah apa yang ada pada ajaran tasawuf.
Suluk
menurut Ibnu Taimiyah merupakan kewajiban setiap mukmin, seperti yang
diungkapkannya dalam kitab Fatawanya. “Suluk adalah jalan yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasulnya berupa itikad, Ibadah dan Akhlak. Semua ini telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunah, dan suluk ini kedudukannya seperti
makanan yang menjadi keharusan seorang mukmin”.
Diantara
kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah “amal-amal hati yang diberi
nama maqâmât dan ahwâl seperti: cinta kepada Allah dan
Rasulnya, tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah kewajiban
setiap maklhuk, baik kaum khâs atapun orang-orang awam”.
Kesufian
Ibnu Taimiyah tidak hanya terbukti dari keilmuannya saja akan tetapi perbuatan
dan sikapnya telah membuktikan akan semua ini. Adz-Dzahabi pernah bercerita
bahwa dia tidak pernah menemukan orang yang banyak berdoa dan bertawajuh kepada
Allah melebihi Ibnu Taimiyah.
Ibnu
Qoyyim dalam kitabnya Madarus Salikin banyak bercerita tentang Ibnu Taimiyah
dalam kerohanian (baca: Tasawuf). Dalam kitab Kawakibud Duriyah bahwa Ibnu
Taimiyah pada malam hari sering menyepikan diri dari manusia, dia hanya sibuk
dengan tuhannya, banyak bermunajat dan membaca Al-Qur’an.
Sedang
ke zuhudan dan ketawaduan Ibnu Taimiyah adalah tauladan yang baik, dalah hal
ini terbukti dengan kata-katanya, “Aku tidak punya apa-apa, dariku tak ada
apa-apa dan padaku tak ada apa-apa”.
Itulah pribadi Ibnu Taimiyah dalam suluk dan
kerohaniannya, cukuplah kiranya Ibnu al-Qayyim dan karyanya Madarus Salikin
sebagai bukti tarbiah Ibnu Taimiyah dalam konteks kesufian.
Tidak hanya itu, Ibn Taimiyah dan
murid-muridnya sangat mempercayai adanya karamah para wali. Di sini Baduruddin
al-Aini berkata tentang Ibnu taimiyah, “Di samping kemuliaan dan ketinggian
Ilmunya, beliau (ibnu Taimiyah) juga mempunyai karamah yang tidak diragukan
lagi seperti yang ku dengar dari banyak orang”.
Ibnul Qayyim juga banyak bercerita tentang
firasat (mukasyafah) Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, “Aku telah menyaksikan
firasat Syaikhul Islam dari hal-hal yang menabjubkan. Sedang hal yang tidak
kusaksikan tentu lebih banyak dan lebih agung”.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompoknya anti ajaran Tasawwuf. Adapun
kepercayaan-kepercayaan yang mengatas namakan sufi dan tasawwuf akan tetapi
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah tidak hanya Ibnu Taimiyah dan
Madrasahnya yang menentang, para sufipun juga menentangnya.
Sebagai seorang intelektual wajar kalau Ibnu
taimiyah sering melontarkan kritikan terhadap tokoh-tokoh lain, hanya saja
kadang Ibnu taimiyah melampau batas dalam pandangan dan kritikannya sehingga
menjadikan dia sebagai sosok yang kontrofersi.
2.
Kontrofersi
pemikiran Ibnu Taimiyah.
Pemikiran
Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman
Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara,
terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiah ini
tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga
sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamnnya geram pada Ibnu
Taimiah.
Pemikiran
pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara
satu fatwa yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi
waktu itu turun tangan, yaitu Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa
“Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu taimiah maka dia akan dita`zir.”
Pada tahun 705 Ibnu Taimiah kembali membikin heboh yang membuat dirinya kembali
masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di sanapaun
dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama
setempat.
Begitulah
seterusnya Ibnu taimiiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di
Syam atau di Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak
konsekwen pada pendapatnya, kadang dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab
Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan
dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali dan yang lainnya.
Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi.
Oleh
sebab itulah, ulama dari masa ke masa senantiasa memperselisihkan sosok dan
pemikiran Ibnu Taimiyah, ada yang menganggapnya fasik, ada yang menganggapnya mubtadi`
(ahli bid’ah) dan bahkan ada yang menganggap kafir. Tidak hanya para
penentangnyya yang mengkritik Ibnu taimiyah, murid-muridnya juga sering berbeda
dan menasehatinya, seperti Ibnu Katsir dan adz-Dzahabi. Bahkan adz-Dzahabi
menulis sebuah risalah husus yang berisi nasehat-nasehat agar Ibnu Taimiyah
kembali dan bertobat. Surat ini di kenal dengan an-Nashîhah
adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah.
Penentang
Ibnu Taimiyah sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri sampai pada saat ini terus
mengalir, mulai dari kalangan fuqaha madzahabil arb’ah sampai para ulama
kalam. Sedang yang mengarang kitab yang berisi kritikan pada Ibnu taimiyah juga
sangat banyak, seperti as-Subki dan ulama-ulama setelahnya.
3.
Pemikiran
kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun
pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas
ahlu sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya adalah:
a) Keyakinanya
tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti
duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah
berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar.
Mazhab ini di sebut al-Hasyawiyah al-Mujassamah.
b) Berani mencaci
Ulama dan Sahabat Nabi. Kelancangan Ibnu taimiyah ini membuat nyawanya terancam
karena telah berani mencaci Imam al-Ghazali dan pengikut Asya`irah lainnya.
Bukan hanya itu, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak
sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga
tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau tidak
mengerti apa yang di ucapkan. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan.
Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya
sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu
Taimiyah fil-Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini.
c) Inkar terhadap
Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam
Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi
ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalah Tafwidh
(menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh
kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab Ta`wil (mentafsiri
ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini dipakai
oleh ulama khalaf.
Sedang pendapat Ibnu taimiyah dalam masalah ini
berkonsekwensi pada pemahaman yang berbahaya dalam memahami al-Quran dan nama
dan sifat Allah, sebab hanya membawa pada pengertian yang mustahil pada zat dan
sifat Allah. Adapun pendapat salaf mengenai masalah Tafwidh, salaf tidak mau
panjang lebar mengenai masalah ini, sehingga menyerahkan urusan ini pada Allah.
Beda halnya dengan Ibnu taimiyah yang berani menafsiri Al-Quran dengan lahirnya
saja, sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada
majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah terhadap teks Syariah, Ibnu
Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa kebingungan menyikapi
masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi
(Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai adanya majaz dalam
al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab dan lain-lain
sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran.
Seseorang yang membaca kitab Shawaiq
al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak kebingungannya dalam
menyikapi pendapat gurunya tersebut.
d). Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti
pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi, masalah ta`liq talak, seorang
haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak tiga hanya terjadi
satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak pendapat Ibnu
taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah wal jamaah.
Namun
begitu sumbangan Ibnu Taimiyah terhadap pemikiran Islam tidaklah sedikit, maka
sikap yang terbaik mengenai Ibnu taymiyah adalah sikap yang disampaikan oleh
Syaekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, “Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar
yang masyhur dari salah satu umat Muhammad, namun begitu dia tidak lepas dari
kesalahan” Dalam buku yang sama an-Nabhani juga berkata, “Ibnu taimiyah ibarat
lautan besar yang berkecamuk ombak, di mana ombak itu kadang membawa intan
permata dan kadang membawa batu dan pasir dan kadang juga melempar kotoran”.[6]
4.
Prinsip dasar Ibn Taimiyah
Ciri khas pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menganut
system pemikiran Ahlussunah Wal Jama'ah, yang dianut oleh Ahmad bin
Hambal dan tokoh mazhab hambali lainya. Sungguhpun demikian, ia juga mengambil
pikiran tokoh mazhab empat dan para pemuka hadits seperti, Bukhari, Syafi'I,
Thabari, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Bahkan Ibnu Taimiyah menerima semua pemikiran selama itu sejala dengan kaum
salaf.
Prinsip berpikir yang menjadi landasan berfikir Ibnu
Taimiyah adalah ; pertama, al-Tauhid. Dengan prinsip tauhid, Ibnu
Taimiyah meyakini bahwa Allah adalah yang maha benar, yang nyata, pengajar
setiap ilmu, pencipta segala sesuatu, dan pembuat hukum. Karena Allah swt
memiliki kualitas sperti di atas maka ia memberi petunjuk kepada manusia melali
perantara, yakni rasul dengan mewahyikan al-kitab yang mengandung
petunjukpetunjuk dan penjelasan dari rasul yang disebut dengan Sunnah.
Kedua, kembali kepada al-qur'an dan sunnah.
Prinsip ini berdasarkan pada teorinya fitrah, yang mana ia merupakan potensi
yang inheren dalam diri manusia yang telah ada sejak ia dilahirkan. Fitrah
tersebut mempunyai daya potensial yang berfungsi untuk menganal Allah swt,
mengesakan dan mencitai-Nya yang disbut al-quwwatu al-aqliyah. Sedang
daya yang berfungsi untuk menginduksi hal-hal yang menyenangkan disebut quwah
syahwatiah, dan daya yang berfungsi untuk menjaga diri dan dan menghindarkan
dari bentuk yang merusak dan membahayakan disebut quwwah al-ghadab. Akan tetapi
fitrah tersebut tidak tidak dapat berfungsi tanpa bantuan daruluar dirinya yang
disebut al-fitrah al-munazzalah.
Ketiga, persesuaian antara akal dan wahyu.
Ibnu Taimiyah meletakkan akal pikiran di belakang nash-nash agama yang tidak
boleh berdiri sendiri. Dengan kata lain, wahyu tidak dapat terpisahkan, namun
ukuran-ukuran kesesuaian antara keduanya harus jelas, yaitu penalaran akal yang
jelas dan wahyu yang terjamin penukilannya.
Keempat. Prinsip keadilan. Persoalan di
dunia ini bisa baik jika diurus secara adil. Cara begini lebih banyak berhasil
daripada diurus secara zhalim. Oleh karena itu, dikatakan bahwa,
"Sesungguhnya Allah swt mempertahankan atau memenagkan Negara yang adil
meskipun kafir dan tidak membantu Negara yang zhalim sekalipun Muslim.
Kelima, hakikat kebenaran. Menurut Ibnu
Taimiyah, hakikat kebenaran itu ada dalam dunia empirik, bukan dalam pikiran.
Islam sebagai ajaran yang ditujukan unutk kebaikan umat manusia adalah petunjuk
praktis yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi penganutnya. Oleh
sebab itu, kebenaran yang sesui dengan ajaran agama dapat diketahui oleh
manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam mengandung sifat empirik yang memberi
peluang kepada fungsi-fungsi manusia.
Keenam,
pokok-pokok dan cabang-cabang agama telah dijelaskan oleh Rasul. Menurut Ibnu
Taimiyah, Rasulullah telah menjelaskan semua aspek agama, baik
prinsip-prinsipnya naupun cabag-cabangnya, segi atin dan lahirnya, segi ilmu
maupun amalnya. Prinsip ini adalah
pangkal prinsip-prinsip ilmu dan iman. Barang siapa yang berpegang
kuat-kuat kepada prinsip tersebut maka ia lebih berhak atas kebenaran, baik
dari segi ilmu maupun dari segi amal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin
Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin
tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal senin tanggal 20 Dzul Qaidah
tahun 729 H. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam
Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.
Kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah
“amal-amal hati yang diberi nama maqâmât dan ahwâl
seperti: cinta kepada Allah dan Rasulnya, tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf
dan semacamnya adalah kewajiban setiap maklhuk, baik kaum khâs atapun
orang-orang awam”.
Ibn Taimiyah merupakan tokoh controversial dalam dunia
Islam. Seorang pemikir bebas yang yakin kepada keunggulan hati nurani individu
dan seorang yg ingin melihat Islam dalam kemuliaan sejati ia lalu mengecam
kepada semua pencemaran dan pengaruh asing yg marasuk ke dalam Islam. Karena
sikap inilah ia dicaci dipukul dicambuk dipenjarakan dan dianiaya lahir batin.
Namun ia tetap nekad hidup berhenti menghadapi penganiayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Husayn. Seratus Tokoh
dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Ali An-Nadawi, Abulhasan.Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995
Hajar al-‘Asqalany,Ibnu. Al-Durar
al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah:, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama,
Tahun 1947.
http://ibnujusup.multiply.com/journal/item/17/SOSOK_DAN_PEMIKIRAN_IBN_TAIMIYAH
Nata,Abuddin. Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Zaki Khurshid, Ibrahim.Da’irah
al-Ma‘arif al-Islamiyah:, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969
[1].
Husayn Ahmad Amin,
Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999, h.229.
[2].
Abul Hasan Ali An-Nadawi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV.
Pustaka Mantiq, 1995, h.41
[3].
Abuddin Nata,
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001, h.130
[4].
Ibrahim Zaki Khurshid
, Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah:, Mathba‘ah
al-Sya‘ab, Tahun 1969
[5].
Ibnu Hajar al-‘Asqalany
, Al-
Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah
al-Tsaminah:, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
[6].http://ibnujusup.multiply.com/journal/item/17/SOSOK_DAN_PEMIKIRAN_IBN_TAIMIYAH