BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Syariat Islam sebagai
hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui
praktek peradilan atau quasi peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan
halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah hukum Islam (wajib, sunnat, haram,
makruh dan mubah) yang berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman
masyarakat umum. Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara
terbatas dalam kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai
ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan
tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut
kewenangan fatwa belum mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.
B.
Rumusan
Masalah
· Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
· Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
· Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?
C.
Tujuan
Pembahasan
· Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.
· Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di
Indonesia.
· Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.
BAB II
INSTITUSI FATWA DI INDONESIA
A.
Pengertian
Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa Arabفتوى,yang artinya
nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang
dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai
tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti)
yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[1]
Tindakan
memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat.
Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa
disebut mustafti. Peminta
fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa
adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain
dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah
yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi
fatwa atas pristiwa itu.
Oleh karena
fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa menduduki
sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain
adalah:
a.
Fatwanya
harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b.
Apabila
ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat
salah dan bohong.
c.
Seorang
mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak
terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d.
Seorang
mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[2]
B.
Kedudukan
Fatwa
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan
Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang
muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan
dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang
berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum
ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali
dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah
kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat
al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174).
Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga
memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa,
seperti Tanya
Jawab Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu
ada juga Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar
Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat
Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara
hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada
peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada
dalil-dalil yang jelas dan benar.[3]
C.
Lembaga-lembaga
Fatwa di Indonesia
1.
MajelisTarjihMuhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social
keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman
agama.Pembaharuan dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari
sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya
dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan
dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system, tektik,
setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah
ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai
ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang
menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah
yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah
khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang
berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan
fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis
tarjih dan pengembangan pemikiran islam Muhammadiyah yang merumuskan secara
dinamis aspek metodologis, yang dilakun terakhir pada tahun 2000 di Jakarta
dengan prinsip yaitu mengbah istilah al- sunnah al-sohihah menjadi al-sunnah
maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah metode
bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi,
manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan
lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj
pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang
menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip
al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan
keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan perpestik oleh
majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan
manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan kemudian
diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas
untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua
yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
2.
Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus
gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta menjadikan paham sunah wal
jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari mazhab.Metode
istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan
mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai
dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’I menempati posisi yang
dominan. Metode pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar
lampung pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang
jawabannya ditemukan satu qoul (pendapat), maka qou itu yang diambil, kasus
yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah
satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali dipakai ilhaq
al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika masalah yang
dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka
dilakukan istinbath jam’i.
3.
Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan
langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama
dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga
Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik.[4]
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali
kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua
Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri,
Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama,
kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan
dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang
sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika
dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan
dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat
serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan
dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi
sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan
kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam
sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan
kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat
kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan
kesatuan serta kebersamaan umat Islam.Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI
yaitu:
1.
Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2.
Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3.
Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4.
Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.[5]
BAB
III
PENUTUP
Titik tolak
dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk memberikan arah yang
konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Namun inti dan
sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan pola pikir yang sistematis
dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu pola
pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan dalil-dalilyang konkret
dalam mengambil keputusan hukum-hukum syariat islam.
Di sisi lain
umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan
sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa
nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan
peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman
umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan
kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan
bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam
sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa
menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut diatas. Dengan
adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih gelobal menjadi
mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari
kian kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html
Taufik Hidayat,Racmat dkk.,Almanak Alam Islami,
, Pustaka Jaya: Jakarta. 2000.