Sebagai mahluk
sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang
terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan
sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri
untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir
untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perikatan.
Dalam
pembahasan ini, pemakalah berusaha memjelaskan melalui makalah sederhana ini
tentang Pokok-pokok Hukum Perikatan yang dalam KUHPerdata sendiri diatur di
buku III.
·
Apa yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan ?
·
Apa saja jenis-jenis dari perikatan itu ?
·
Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?
·
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
·
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan,
·
Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
1.
Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang
mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu
adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang,
dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan,
misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Pristiwa hukum itu
menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak
untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib
memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu
disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur.
Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan
bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena
adanya pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Objek
hubungan itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang
berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan
adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan
debitur.
2.
Pengaturan Hukum Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum
yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan
meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang
tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH
Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III
(kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata
yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan
namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada
“sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja,
baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam
Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a. Tidak dilarang Undang-Undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai
dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa
perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang.
Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam
pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci
menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam
Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan
yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi
menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig
daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad).
3.
Prestasi dan Wanprestasi
Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang
wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek
perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai
jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa
harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap
kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa
benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234
KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda,
membayar harga benda, dan memberikan
hibah penelitian.
b. Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut
barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak
melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan
merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu
menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor kepada kreditor atau sebaliknya, misalnya,
dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang. Dalam
perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan
tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan
membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebbut, debitor
arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab atas
perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang
objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak melakukan perbuatan yang
telah disepakati dalam perikatan, misalnya, tidak membuat tembok rumah yang
tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitor melakukan
pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab
karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok atau membayar ganti
kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang
dialami dalam masyarakat terjadi karena perjanjian. Karena itu, Undang-Undang
mengatur bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika
salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu
dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi
prestasinya, pihak yang lainnya berhak mengajukan gugatan ke muka pengadilan
dan pengadilan akan memaksakan pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan
melelang harta kekayaannya sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat hukum
itu adalah perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada
tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian, Undang-Undang, serta ketertiban umum
dan kesusilaan.
Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak
memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya
kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu:
a. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b. Karena keadaan memaksa (force
majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.
Untuk
menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a. Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu
memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan
tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana
cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya? Debitor perlu
diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi
prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak
memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat
dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis
secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri
dengan perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada
debitor yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak
resmi, misalnya, melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan
senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini
disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang
telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor
(Pasal 1243 KUHPdt).
b.
Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor
dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal
1266 KUHPdt)
c.
Perikatan untuk memberikan
sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237
ayat (2) KUHPdt)
d. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih
dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267
KUHPdt)
e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika
diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah
4.
Keadaan Memaksa (Overmacht)
Keadaan memaksa
(force majeure) adalah keadaan tidak
dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor.
5.
Ganti Rugi
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan
lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor,
Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar
oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus
diabayar oleh debitor hanya meliputi:
a. Kerugian
yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b. Kerugian
sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c. Bunga dalam
hal terlambat membayar sejumlah utang.
Adapun jenis-jenis perikatan
adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang
digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan
atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan
lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang
demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang
menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde).
Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn
adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi
atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal ini menerangkan tentang perikatan
bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada suatu
peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi atau belum
tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan
bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni: a. Perikatan dengan syarat tangguh;
b. Perikatan dengan syarat berakhir.
a.
Perikatan
dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu
terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu
terjadi, keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A
setuju apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah
adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya
menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun
rumahnya untuk didiami oleh B.
b.
Perikatan
dengan syarat batal
Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila
“peristiwa” yang dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju
apabila F kakaknya mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan
syarat bahwa F harus mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan
kembali ketanah air. Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut
kepada K adiknya.
2. Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud
syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan
pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang
masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah
tetap. Contonya:”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk
memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah
dilahirkan”. Menurut KUHperdata pasal 1268 tentang perikatan-perikatan
ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan
perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini
menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi
hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini
pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda
sampai waktu yang ditentukan.
3. Perikatan mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada
dua macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur boleh memenuhi
presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek
perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima
sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah
memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia
dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika
hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor.
4. Perikatan tanggung menanggung atau tanggung
renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan diaman beberapa
orang bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang
yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih
suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini,
sedikit sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama
mengahadapi orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut
untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka
pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang
dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara
tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing
dapat dituntut membayar Rp. 100.000.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang
tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi
atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau
tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh
mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Persoalan dapat dibagi atau tidak
dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari
seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang kreditor
perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.
6. Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk
mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya
dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu
hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan
dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran
kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang
membuat perjanjian itu. Menurut pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan
dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan
sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu
perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada
sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi
satu berikut ini :
1.
Pembayaran
Yang dimaksud dengan
pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi
juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang
dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah
pembayaran uang dan penyerahan benda.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor
telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian
kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian
debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk
disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ).
3.
Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan
utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama
dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah
penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama
lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika
debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika
kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam
hal ini utang lama lenyap.
4.
Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan
ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbal
balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap.
5.
Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436
KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan
debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum.
Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6.
Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan
tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi
lenyap atau hapus.
7.
Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH
Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak
dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan
sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan
menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu
secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda
itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti
harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna
benda itu dia juga akan bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan
bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar
kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun
sudah berada di tangn kreditor.
8.
Karena pembatalan
Menurut
ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi
syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak
wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat
dibatalkan” (vernietigbaar, voidable).
9.
Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang
disetujui oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan
perikatan itu batal (nietig, void)
sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini
disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat.
Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah
terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.
Kesimpulan
·
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap
perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban
memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal
1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.
·
Wanprestasi artinya tidak memenuhi
kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban
oleh debitor karena dua kemungkinan alasan
·
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak
dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar
kemauan dan kemampuan debitor.
·
Ganti kerugian hanya berupa uang
bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari
tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan
pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai
akibat dari kelalainnya (wanprestasi)
·
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada
syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum
pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi
peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi
peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
·
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya
perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan,
pembayaran utang, perjumpaan utang, pencampuran utang, pembebasan utang,
musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan, berlaku syarat batal dan
lampau batas.
Muhammad, Abdulkadire,
”Hukum Perdata Indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia
Bakti,Bandung,1993.
Miru, Amadi dan Sakka Pati, HUKUM
PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Muhammad, Abdulkadir, HUKUM PERDATA
INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010.
Abdulkadire Muhammad, ”hukum perdata indonesia”,
Penerbit PT . Citra Adytia Bakti,Bandung,1993. Hal 198.
Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM
PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali
Pers,2011, hlm 31.