BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu kebutuhan masyarakat manusia adalah kecenderungan
membentuk keluarga. Signifikansi lembaga (kecil) ini dalam kestabilan dan
terciptanya sistem sosial – kultural masyarakat sangat jelas bagi setiap orang.
Dalam hal ini, perempuan memiliki peran aksial dan eksklusif dalam lembaga suci
keluarga. Problem masyarakat hari ini, terutama di Barat, terkait perempuan dan
keluarga karena tidak memperhatikan kedudukan hakiki perempuan dalam keluarga
& masyarakat dan pendekatan-pendekatan yang saling kontradiksi dan tidak
tepat terkait kategori ini.
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana Kedudukan Perempuan dan Keluarga dalam Islam?
·
Bagaimana Kedudukan Perempuan dan Keluarga di Negara Muslim?
C.
Tujuan Penulisan
·
Mengetahui Kedudukan Perempuan dan Keluarga dalam Islam.
·
Mengetahui Kedudukan Perempuan dan Keluarga di Negara Muslim.
BAB II
KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KELUARGA DI NEGARA
MUSLIM
A. Kedudukan
Perempuan dan Keluarga dalam Islam
Ayatullah Khamenei melihat
permasalahan okupasi atau kesibukan perempuan dalam masyarakat sebagai sebuah
hal yang dapat diterima dan tidak dilarang, akan tetapi beliau menegaskan:
“Dalam hal ini harus sepenuhnya menjaga dua syarat utama. Pertama bahwa okupasi
tidak mempengaruhi pekerjaan dasar perempuan di rumah & keluarga dan mengalahkan
tanggung jawab penting sebagai isteri dan ibu. Kedua bahwa permasalahan muhrim
dan non-muhrim (di tengah masyarakat) terjaga dengan baik”.
Dalam ajaran Islam yang memberikan kehidupan,
karena pandangan realistis agama ini terhadap manusia, tugas dan taklifnya,
kedudukan perempuan juga menjadi bahan atensi secara prinsipal dan logis.
Dengan memperhatikan struktur jasmani dan ruhani perempuan, agama samawi Islam
telah memaparkan hak dan kewajiban perempuan. Sementara dalam pandangan dan
pendekatan Barat; posisi dan kedudukan perempuan yang sesungguhnya tidak
menjadi bahan perhatian. Oleh karena itu, dunia hari ini membutuhkan
pengetahuan yang dalam dan multilateral terhadap kedudukan lapisan besar
masyarakat ini dalam ajaran Islam untuk menyelesaikan problematika perempuan
sehingga hal itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kedudukan perempuan.
Masalah perempuan dan keluarga termasuk kategori
signifikan yang sejak awal kemenangan revolusi Islam Iran menjadi bahan
perhatian. Salah satu target revolusi Islam Iran adalah membawa perempuan
kepada kedudukan tingginya yang selalu ditekankan dalam agama Islam. Imam
Khomeini ra, pendiri Republik Islam Iran dan Ayatullah Khamenei dalam berbagai
kesempatan senantiasa menekankan supaya mempersiapkan kondisi politik, ekonomi
dan kultural masyarakat untuk kehadiran aktif perempuan dalam berbagai bidang
sosial masyarakat dengan menjaga martabat dan kedudukan perempuan sebagai
ibu/induk dan poros keluarga.
Perempuan dalam ruang lingkup Islam kedudukannya
sangat dimuliakan dan terhormat. Pandangan Islam terhadap perempuan tidak
selalu bias gender. Karena memang perempuan dan laki-laki sudah memiliki peran
dan tanggung jawab yang sama-sama dapat menentukan maju mundurnya sebuah
masyarakat. Islam melihat bahwa perempuan juga memiliki andil dalam membangun
masyarakat Islam yang terbaik. Hanya saja perempuan dan laki-laki mesti
berjalan bersamaan untuk mencapai harapan besar tersebut.
B. Kedudukan
Perempuan dan Keluarga di Negara Muslim
Dalam Negara perempuan termasuk dalam anggota masyarakat, yang
merupakan bagian dari Negara. Maka apabila perempuan ingin turut andil dalam
pembangunan negara, Negara pun baiknya mendukung hal tersebut. Tanpa mengurangi
hak-hak dan tanggung jawabnya masing-masing. Begitu pun dalam dunia politik
Islam, perempuan harusnya masuk dalam wacana pembangunan dan pemberdayaan
politik. Pemberdayaan politik perempuan merupakan upaya agar perempuan
memfungsikan perannya dalam percaturan politik berdasarkan tujuan yang harus
dicapai dan sesuai dengan bidang yang boleh dan mampu untuk digelutinya.
Jika persoalan diatas ditarik ruang lingkupnya pada Negara Indonesia
nampaknya permasalahan tersebut tidak sedemikian kompleks. Hal ini bisa
dibuktikan dengan kepemimpinan Megawati yang mampu menjabat peresiden ke-5
untuk memerintah Republik Indonesia, dia terpilih sebagai pemimpin Negara
Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan mayoritas. Disamping itu seperti
yang kita ketahui, kepemimpinan perempuan di Indonesia sudah menjadi hal yang
cukup lumrah. Ini bisa dibuktikan dari beberapa sistem kepemimpinan mulai dari
tingkat daerah sampai pusat banyak partisipasi perempuan didalamnya. Sekalipun
demikian hal ini tidak berarti bahwa perdebatan mengenai posisi perempuan
terkait partisipasinya dalam politik tidak lagi menjadi persoalan. Hal ini
terbukti dengan adanya beberapa kelompok yang tetap menentang sebuah asumsi
bahwa perempuan berhak menjadi seorang pemimpin Negara.
Dalam konstitusi Iran pun menyebutkan bahwa “Semua warga negara, baik
laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan
memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang
sesuai dengan kriteria Islam.” (UUD RII Pasal 20)
Dalam pasal di atas, disebutkan bahwa “laki-laki atau perempuan
memiliki semua hak kemanusiaan”. Ini berarti, semua hak-hak dasar
manusia yang bersifat individual maupun yang berhubungan dengan sosial
kemasyarakatan mendapat justifikasi dan jaminan Negara, serta tidak dapat
diganggu gugat, meskipun yang disebutkan hanyalah bidang hukum, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Karena kelima bidang tersebut telah menjadi payung besar
yang menaungi hak-hak parsial lainnya. Hak hukum misalnya akan mencakup
keamanan, perlindungan, kesaksian, dan kehakiman atau pengadilan. Hak politik
akan meliputi hak berserikat, berperang, hak memilih dan dipilih. Hak ekonomi
akan memayungi hak bekerja, nafkah dan hak kepemilikan. Begitu pula dengan hak
sosial dan budaya akan berhubungan erat dengan amar ma’ruf nahi munkar,
palayanan dan tugas-tugas sosial, pendidikan, dan seni. Jadi, secara
konstitusional hak-hak tersebut, menjadi milik seluruh rakyat Iran tanpa
memandang gendernya.
Secara khusus, UUD RII pasal 21 menyebutkan beberapa hak perempuan
yang mesti dijamin oleh pemerintah, yaitu :
”Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria
Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini:
- Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan
kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material
maupun intelektual;
- Perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan
pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim;
- Membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga;
- Menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan
perempuan tanpa pelindung;
- Memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi
kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.” (UUD RII Pasal 21)
Undang-undang di atas cukup
menjadi bukti bahwa diskriminasi perempuan tidak mendapatkan landasan legal
formal dalam Republik Islam Iran. Dengan aturan-aturan yang berlandaskan pada
syariat dan kebudayaan Islam, maka Iran mempraktekkan masyarakat yang memberikan
bagi perempuan keleluasaan dalam kancah pergaulan sosial. Para perempuan hadir
secara aktif dalam berbagai aktivitas kehidupan dengan menjaga
fasilitas-fasilitas public dan menerima berbagai tugas kemasyarakatan. Di
sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi, pusat-pusat
penelitian, rumah sakit, klinik, laboratorium, parlemen, kementrian, dan
pos-pos penting lainnya, perempuan tampak hadir tanpa risih menjaga hijab dan
pakaian islami serta tidak berhias secara berlebihan. Meeka menrima batasan ini
dengan lapang dada dan pengorbanan sehingga masyarakat selamat dan bersih dari
factor-faktor penyimpangan dan kerusakan. Mereka melakukan ini karena menjaga
kondisi para pemuda dan para lelaki asing, disamping menjaga hati dan perasaan suaminya
sehingga kehidupan rumah tangga tetap utuh.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Suatu masyarakat yang
melangkahkan kakinya ke arah keadilan, secara lazim harus menciptakan budaya
dan jiwa partisipasi dalam lingkungan keluarga. Salah satu topik pembahasan
yang berhubungan dengan ekonomi keluarga adalah kesibukan (pekerjaan) perempuan
dan lelaki. Tentu saja kesempurnaan lelaki adalah ia mencurahkan usahanya ke
jalur kemajuan keluarga dan kenyamanan isteri dan anak, sedangkan kesempurnaan
perempuan karena memiliki kelembutan feeling yang dititipkan dalam dirinya
untuk mendidik anak. Di antara kumpulan keistimewaan individual, keluarga dan
okupasi, biasanya adalah kondisi kesibukan perempuan yang berpengaruh terhadap
munculnya pertentangan peran perempuan di rumah dan masyarakat. Ayatullah
Khamenei melihat permasalahan okupasi atau kesibukan perempuan dalam masyarakat
sebagai sebuah hal yang dapat diterima dan tidak dilarang, akan tetapi beliau
menegaskan: “Dalam hal ini harus sepenuhnya menjaga dua syarat utama. Pertama
bahwa okupasi tidak mempengaruhi pekerjaan dasar perempuan di rumah &
keluarga dan mengalahkan tanggung jawab penting sebagai isteri dan ibu. Kedua
bahwa permasalahan muhrim dan non-muhrim (di tengah masyarakat) terjaga dengan
baik”. Dalam hal ini beliau memberikan nasehat kepada pemerintah untuk membantu
kaum perempuan yang bekerja dengan cara memberikan sebuah program yang mereka
dapat melaksanakan pekerjaan utama mereka yaitu mengurus rumah dan keluarga
juga.
DAPTAR PUSTAKA