BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Setiap keluarga selalu
berharap terciptanya kehidupan yang harmonis/sakinah mawaddah warahmah. Akan
tetapi masih banyak yang belum bisa mewujudan hal itu, sehingga seringkali
terjadi percerain dalam hubungan suami istri. Akan tetapi diberbagai ayat Allah
telah memberi sinyal kepada sumai istri yang cerai/talak untuk melakukan
rujuk(kembali).
Dengan adanya syariat tentang
rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan
berlangsung selamnya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan
perkawinan, Allah SWT. Masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk
menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu
diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak suami
selama masa iddah, karena tidak seorangpun yanga dapat menghapus hak rujuk.
Kalau ada seorang laki-laki berkata tidak akan merujuk istrinya ia tetap masih
tetap berhak merjukinya. Karena kemanapun istri itu berada selama masih dalam
tanggungan iddah, suami masih punya hak untuk merujuknya karena dalam masa
iddah itu suami masih mempunyai tanggunan untuk memberi nafkah.
B. Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
pengertian rujuk?
b. Bagaimana
Hadist tentang rujuk?
c. Bagaimana
hukum ruju’ dalam fiqih?
C. Tujuan
Pembahasan
a. Mengetahui
pengertian rujuk.
b. Mengetahui
hadits yang membahas rujuk.
c. Mengetahui
hukum ruju’ dalam fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Rujuk
Secara etimologis, ruju'
berasal dari kata raja'a yang artinya pulang atau kemabali. Secara terminologi,
ruju' artinya kembalinya seorang suami kepada istrinya yang ditalak raj'i.
tanpa melalui perkawinan dalam masa iddah. Syariat tentang ruju' ini merupakan
indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamnya.
Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT.
Masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali tali
perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang
lain setelah berakhirnya masa iddah.
B. Matan Hadist
Yang Berkaitan Dengan Rujuk
حَدَثَنَا القَعْنَبِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِع عَنْ
عَبْدِ الله ابن عُمَر اَنَّهُ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ على عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صلعم. فَسَأَلَ عُمَرُ
ابْنُ الخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ ليُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثم تَحِيْضَ ثم تَطْهُرَ ثم
اِنْ شَاءَ اَمْسِكْ بَعْدَ ذَلِكَ وَاِنْ شَاءَ طَلِّقْ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ,
فَتِلْكَ العِدَّةُ التي أَمَرَ الله ُاَنْ تُطَلِّقَ لَهَا النِّسَاءَ
Al-Qa’nabi bercerita kepada kami dari Malik dari Nafi’ dari Abdillah ibnu Umar,
bahwa beliau mentalak istrinya sedang dia dalam keadaan datang bulan dimasa
Rasul SAW. kemudian Umar Ibnu Al-Khattab menanyakan hal itu pada Rasul SAW,
lalu Rasul bersabda: temui dia! Kemudian suruh merujuk kembali, kemudian
biarkan istrinya sampai masa suci, kemudian menjalani masa haid, lalu masa
suci, setelah itu jika ia mau, maka setelah itu, biarkan dia tetap menjadi
istrinya, dan jika ia mau boleh mentalak sebelum digauli. Masa iddah
inicmerupakan perintah Allah SWT. Jika mentalak istri-istrinya. (H. R. Abu
Daud)
Berdasarkan
hasil takhrij hadits diatas dimuat dalam beberaapa kitab diantaranya[i]:
·
Dalam kitab Imam Bukhari, yaitu pada bab talaq (1,
2, 3, 45), tafsir surat (65) bab hikam (13)
حَدَثَنَا
إِسْمَاعِيْل بِنْ عَبْدِ اللَّه قَالَ : حَدَثَنِى مَالِك عَنْ نَافِع عَنْ
عَبْدِ الله ابن عُمَر اَنَّهُ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ على عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صلعم. فَسَأَلَ عُمَرُ ابْنُ الخَطَّابِ
رَسُولَ اللهِ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ
ليُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثم تَحِيْضَ ثم تَطْهُرَ ثم اِنْ شَاءَ اَمْسِكْ
بَعْدَ ذَلِكَ وَاِنْ شَاءَ طَلِّقْ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ, فَتِلْكَ العِدَّةُ التي
أَمَرَ الله ُاَنْ تُطَلِّقَ لَهَا النِّسَاءَ[ii]
·
Dalam kitab Imam An-Nasa’i, yaitu pada bab talaq,
(1, 3, 4, 5, 76)
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّد بن سلمة قال : أنبأنا إبن القاسم عَنْ مَالِك عَنْ نَافِع عَنْ عَبْدِ
الله ابن عُمَر اَنَّهُ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ على عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ صلعم فَسَأَلَ عُمَرُ ابْنُ الخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ ليُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثم
تَحِيْضَ ثم تَطْهُرَ ثم اِنْ شَاءَ اَمْسِكْ بَعْدَ ذَلِكَ وَاِنْ شَاءَ طَلِّقْ
قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ, فَتِلْكَ العِدَّةُ التي أَمَرَ الله ُاَنْ تُطَلِّقَ لَهَا
النِّسَاءَ
·
Dalam kitab Imam Muslim, yaitu pada bab radha’ (66,
67, 72, 73, 76, 81)
·
Dalam kitab Imam Abu Dawud, yaitu pada bab talaq
(4)
·
Dalam kitab Imam Tirmidzi, yaitu pada bab talaq (1)
·
Dalam kitab Imam Ibnu Majah, Yaitu pada bab talaq
(2, 3)
·
Dalam kitab Imam Ad-Dailami, yaitu pada bab talaq
(1, 2)
·
Dalam kitab Al-Muatho, yaitu pada bab talaq (53)
·
Dalam kitab Imam Ibnu Hambal (2, 3)
1. Biografi Perawi
·
Abdullah Bin Umar
Nama lengkapnya adalah
Abdullah Ibnu Umar Ibnu Khattab Al-Quraisyi Al-Adawi Abu Abdurrahman Al-Makki
Al-Madani. Beliau dilahirkan sebelum Nabi diutus menjadi Rasul. Beliau masuk
islam ketika kecil. Ada yang mengatakan beliau telah memeluk islam sebelum
ayahnya masuk islam, kemudian hijrah ke Madinah. Pada perang Uhud sempat
ditolak untuk ikut perang, karena masih belia, yaitu umur 14 tahun.
Selanjutnya, mulai perang Khandaq dan perang seterusnya, beliau selalu ikut
serta.
Beliau menerima hadits Nabi melalui ayahnya, pamannya (Zaid bin Khattab),
saudara perempuannya (Siti Khafshoh), Abu Bakr, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Sa’id, Zaid bin Tsabit, Shuhaib, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Rafi’ Ibnu
Khadij, dan lainnya. Orang-orang yang menerima riwayat darinya antara lain:
anaknya, Bilal, Zaid, Hamzah, Salim, Ubaidillah, Umar, cucu dari anak
laki-lakinya, Abu Bakr bin Ubaidillah, Muhammad bin Zaid, Nafi’ budaknya, As
Salam budak Umar, Abu Salamah, Ibnu Abdurrahman, dan lain-lain. Kemudian dari
beliau diriwayatkan oleh Nafi’ Muslim bin Jundub, Abu Mutsanna Muslim, Muslim
bin Abu Maryam, Muslim bin Yannaq, Mus’ab bin Said bin Alwaqqash, Al-Muthalib
bin Abdullah bin Hanthab, Mu’awiyah bin Qurrah, Maghra bin Al-Abdi, Mughits bin
Sumai, Mughits Al-Hajazi, Mughirah bin Salman.
5 Hadis yang diriwayatkan hampir menyamai jumlah
hadits yang riwayatkan oleh Abu Hurairah, yaitu 2630 hadits. Beliau ini
termasuk salah seorang al-Abadalah, yaitu sebutan bagi orang yang dipanggil
Abdullah, yakni tiga yang masyhur dengan fatwanya, yaitu Abdullah Ibnu Abbas,
Abdullah Ibnu Mas’ud.
Para sahabat
berpendapat mengenai Abdullah Ibnu Umar:
Jabir: “Tidak ada seorang pun yang aku ketahui tentang dunia dan ia cendrung
kepadanya, kecuali Ibnu Umar”.
Khafsah:
“Aku mendengar Nabi SAW. bersabda bahwa Ibnu Umar adalah seorang pemuda Quraisy
yang banyak mengetahui tentang dunianya. Juga Abdullah adalah seorang pemuda
yang shalih”. Seperti halnya terdapat pada kitab Fadhail Ashab An-Nabi tentang
manakib Abdullah Ibnu Umar.
Ibnu Musayyab: “Ia meninggal ketika ketika di bumi ini, tidak ada seorang pun
yang mencintai pertemuan dengan Allah karena amalnya kecuali Ibnu Umar”.
Menurut Ibnu Zubair beliau meninggal pada usia 73 tahun, sedangkan menurut
As’ad ia meninggal pada tahun 74 H. Beliau dimakamkan di Badiy Thawy pada
pemakaman kaum Muhajirin.
·
Nafi’
Abu Abdillah Nafi’ hamba sahaya Umar Al-Madaniy. Beliau berdomisili di Madinah,
dan wafat di sana pada tahun 117 H. Nafi’ termasuk dalam kalangan al-wasthi
al-tabi’in.
Adapun
beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang, diantaranya adalah, Aslam hamba
sahaya Umar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Hunain, dan lainnya. Sedangkan
orang yang meriwayatkan hadits dari beliau, diantaranya adalah Abban bin
Thariq, Ibrahim bin Said, Malik bin Anas, dan lainnya.
Tentang
kualitas beliau dalam periwayatan hadits, tidak diragukan lagi ketsiqqahannya,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Yahya bin Mu’in, al-‘Ajli, an-Nasa’i, Ahmad
bin Shalih.
·
Malik
Abu Abdillah Malik bin Anas bin Abi Amir al-Asbihi al-Humaiari. Beliau termasuk
diantara golongan kibar al-tabi’in, dan bermukim di Madinah serta wafat di
Madinah juga pada tahun 179 H.
Guru-guru
beliau adalah Ibrahim bin Uqbah, Abu Bakr bin Umar, Nafi’, dan lainnya.
Sementara murid-murid beliau adalah Ibrahim bin Umar, Ahmad bin Ismail, Malik
bin Anas, dan lainnya.
Dalam
periwayatan hadits, menurut Imam Syafi’i, beliau orang yang paling unggul untuk
kemantapan haditsnya, serta dapat dijadikan hujjah. Imam Ahmad mengatakan,
bahwa beliau adalah orang yang mantap dalam segala hal, dan tidak diragukan
lagi hafalannya. Berikut pula menurut Muhammad bin Sa’ad, an-Nasa’i, dan Yahya
bin Mu’in, beliau adalah rawi tsiqqah.
·
Abdullah bin Maslamah
Abu Abdirrahman Abdullah bin
Maslamah bin Qa’nab al-Qa’nabi al-Haritsi. Beliau bertempat tinggal di Madinah,
dan wafat di Basrah pada tahun 221 H. Beliau termasuk dalam periode shughra
al-atba’.
Diantara
orang-orang yang diriwayatkan haditsnya oleh beliau adalah Aflah bin Humaid,
Anas bin ‘Iyadl, Malik bin Anas, dan lainnya. Sedangkan orang yang memperoleh
hadits dari beliau diantaranya adalah, Ahmad bin al-Hasan, Amr bin Manshur, Muhammad
bin Ali, dan lainnnya. Kapabilitas serta kredibelitas beliau dalam periwayatan
hadits sudah dipastikan tsiqqah dan amanah, menurut mendapat para ulama hadits,
diantaranya, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Al-Razi, Ibnu Hibban.
2. Syarah Hadits
Hadist diatas berawal dari kisah abdullah bin umar
yang menceraikan istrinya yaitu Aminah binti Ghiffar al-Nawwar di waktu haid
kemudian oleh ayahnya yaitu umar bin khattab hal itu dalaporkan kepada
rasulllah. Reaksi rasul ketika mendengar cerita umar adalah menyuruhnya untuk
memerintahkan pada anaknya agar merujuk istrinya dan menunggu sampai dua kali
suci dan satu kali haid jika memeng ingin mencerikannya atau meneruskan
perkawinannya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwsasannya mentalak istri
dalam keadaan haidh adalah dilarang oleh agama atau syariat, hal tersebut biasa
dibuktikan dengan perintah rasulullah yang menyuruh abdullah bin umar via umar
bin khattab u nti\uk merujuk istrinya yang notabene ia cereikan dimasa haid.
Hadist tersebut secara eksplisit menyinggung tentang pelaksanaan rujuk
sebagaimana yng disinggung oleh taqiyuddin abu bakar dalam kifayatul akhyar
bahwa hadist di atas menjadi rujukan dan dasar tentang pensayariatan rujuk.
Sedangkan menurut As-Syafi'i bahwa tenggang waktu yang di tentukan dalam hadist
di atas itu adalah merupakan manifestasi dali nash al-Qur'an yamnh berbunyi
tiga kali sucian sebagaiman yang dikutib oleh At-Thahawi. Lebih lanjut menurut
As-Syafi'i bahwa filosofis dari penentuan itu adalah untuk mengetahui keadaan
rahim sang istri.
C. Rujuk Dalam
Hukum Fiqih
Mengenehi pelaksanaan ruju',
pendapat para ulama terbagi dalam dua golongan, baik mengenehi kesaksian ruju'
atapun bentuk ruju' itu sendiri. Imam syafi'I berpendapat bahwa saksi dalam
pelaksanaan ruju' itu wajib. Ia berdasar pada zahir surat Ath-Thalaq Ayat 2:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُم
Artinya:
"Apabila wanita-wanita tersebut telah sampai (habis) masa iddahnya
hendaklah mereka dipegang dengan baik, (ruju') atau dipisahkan dengan baik dan
(kedua peristiwa tersebut) hendaklah dipersaksikan oleh orang yang adil di
antara kamu."
Menurut imam Syafi'i, zahir ayat tersebut menunjukan hal yang wajib, sedangan
imam mailk mengatakan sebagai sunnah, karena persaksian itu berkaitan dengan
hak suami.
Rujuk adalah hak suami selama masa iddah, karena tidak seorangpun yang dapat
menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki yang berkata tidak akan
merujuk istrinya ia tetap masih berhak merujuk istrinya. Allah berfirman:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
"Suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuknnya",
(Q.S. 2, Al-Baqaroh).
Karena rujuk itu hak suami,
maka istri tidak disyaratkan untuk ridho atau mengetahuinya dan tidak
diperlukannya adanya wali. Rujuk adalah hak mutlak suami berdasarkan ayat diatas.meskipun
demikian adanya saksi disunnahkan, karena dikawatirkan suami akan
mengingkarinya, berdasarkan firman Allah:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu". (Q.S. 65 Ath-Thalaq:2)
Ulama' sepakat bahwa suami
yang telah menjatuhkan talaq satu atau talaq dua atas istrinya selagi istri
yang di talaq tersebut masih dalam iddah meskipun istri enggan di rujuk.
Apabila sampai lepas iddah
suami tidak merujuknya, maka istri menjadi lebih berhak atas dirinya, ia
menjadi ajnabi, asing bagi suamiya. Ia tidak halal lagi bagi suaminya kecuali
dengan di pinang lagi dan dengan akad nikah lagi, dengan wali, saksi dan mahar
seperti lazimnya suatu akad nikah.
Seandainya suami kembali atau
merujuk istrinya dimasa iddah, maka suami tidak terikat dengan ketentuan
ketentuan nikah kecuali kesaksian atas rujuknya.
Para ulama mazhab sepakat bahwa, wanita yang dirujuk itu hendaknya beradadalam
masa iddah dari talak raj'i. dengan demikian, wanita yang di talak ba'in
sekalipun belum di campuri tidak tidak boleh dirujuk, sebab wanita tersebut
tidak mempunyai iddah. Juga tidak di perbolehkan merujuk wanita yang ditalak
tiga karena karena untuk kembali kepadanya di butuhkan seorang Muhallil.
Demikian pula halnya dengan wanta di talak melalui khulu', karena sudah
terputusnya taliperkawinan antara mereka berdua.
Mereka juga sepakat bahwa,
rujuk bisa dilakukan dengan perkataaan(ucapan), namun mereka mengsyaratkan
hendaknya kalimatnya tegas dan tidak di gantungkan pada sesuatu. Kalau si suai
mengungkapkan rujuknya denagn disertai ta'liq misalnya dengan mengatakan
"saya merujukmu jika kamu mau," maka rujuknya tidak sah. Berdasar iu,
bila sesudah menyampaikan maksudnya tesebut tidak keluar tindakan atau ucapan
yang tyegas yang membuktikan rujuknya hingga wanita tersebut menyelesaikan masa
iddahnya, maka wanita tersebut menjadi wanita lain(bukan istri)baginya.
Yang di maksud ruju'
mengembalikan istri yang telah di thalaq kepada perkawinan yang asal sebelum
perkawinan yang asal sebelum di ceraikan.
Perceraian Ada Tiga Cara:
1. Thalaq tiga
ini di namakan bain kubra' laki-laki tidak boleh rijuk lagi, tidak sah pula
kawin lagi dengan bekas istrinya itu, kecuali apbila perempuan itu sudah nikah
dengan orang lain serta sudah campur dan sudah di cearikan dan sudah habis pula
iddahnya, barulah suami yang pertama boleh menikahinya lagi.
2. Thalaq
tebus, di namakan bain sugra suami tidak sah rujuk lagi, tetapi boleh kawin
kembali, baik dalam iddah ataupun sudah habis iddanya.
3. Thalaq satu
atau thalaq dua dinamakan "thalaq raj'i", artinya sisuami boleh
rujuk,(kembali) kepad istrinya, selama si istri masih dalan iddah.
Adapum hukum ruju’ menurut hukum fiqih ialah:
1. Wajib:
terhadap suami yang mentalaq salh seorang istrinya, sebelum dia sempurnakan pembagian
waktunya terhadap istri yang di thalaq.
2. Haram;
apabila tejadi dari sebab rujuknya itu menyakiti si istri.
3. Makruh;
kalau terusnya pencaraian lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (
suami-isteri)
4. Jaiz;
(boleh) ini adalah hukum ruju'yang asli
5. Sunnah; jika
yang di maksut suami untyuk memperbaiki keadaan istrinya , atau karena ruju itu
lebih berfaeah bagi keduanya ( suami-istri)
Dan adapun yang termasuk rukun
ruju’ adalah:
1. Isteri: di
syaratkan menurut keadaan isteri bebrapa syarat:
·
sudah di campuri, karena isteri yang belum di
campuri apabila di thalaq, terus putus pertalian antara keduanya ,karena isteri
tidak mempunyai iddah sebagaimana telah di jelaskan.
·
Keadaan istri yang din rujuk itu tertentu.kalau
suami mentalaq beberapa isterinya kemudian ia riju'kepada salah seorang dari
mereka, dengan tidak di tentukan siapa yang di rujuknya maka rujuknya itu tidak
sah.
·
Keadaan thalaqnya thalaq raj'I, jikaia di thalaq
sengan thalaq tebus atau thalaq tiga, aka ia tak dapat di riju'lagi
·
Terjadinya ruju' itu sewaktu istri masih dalm
iddah. firman Allah SWT, AL-Baqarah 228.
2. Suami: di
syaratkan keadaan suami, dengan kehendaknya sendiri, artinya bukan di paksa.
3. Saksi; telah
bertikai paham ulama' apakah saksi itu wajib menjadi rukun atau sunnat?
Setengah mengatakan wajib yang lain mengatakan tidak wajib, hanya sunnat,
firman Allah swt At-Thalaq.ayat 2:
4. Sighat
(lafaz); sighat ada dua:
·
Dengan berterang-terangan, seperti
dikatakakn:"saya kembali kepada istri saya". Atau: " saya rujuk
kepada kamu"
·
Dengan jalan perkataan sendirian, seperti katanya:
" saya pegang engkau", atau: saya kawin engkau" atau sebagainya
tiap-tiap kalimat yang boleh dipakai untuk ruju' atau untuk lainnya.
Disyaratkan seghot itu perkataan tunai, berarti
tidak di gantungkan dengan sesuatu. Umpamanya dikatakan: saya kembali kepadamu
jika engkau suka" atau: embali kepadamu kalau si anu datang" rujuk
yang digantungkan dengan kalimat ruju'
Menegehi ruju', KHI memuatnya dalam BAB XVII
tentang ruju' dari Pasal 163 sampai dengan Pasal 166, sedangkan tentang
prosedur ruju' di atur dalam Pasal-Pasal 167 sampai Pasal 169 KHI.
Pasal 163 seorang suami dapat meruju' istrinya yang
dalam masa iddah ruju' dapat dilakukan dalam hal-hal: Putusnya perkawinan
karena talak, kecuali talak yang jatuh tigakali atau talak yang dijatuhkan
qabla dhuhul
Putusnya perkawinan berdasarkan putusn pengadilan denga aasan selain zina dan
khulu'.
Pasal i64 yaitu seorang wanita dalam iddah talak
raj'i berhak mengajkan keberatan terhadap ruju' dario bekas suaminyadihadapan
pegawai pencatat nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 163 yaitu ruju' dilakukan tanpa persetujuan
pihak istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan pengadilan.
BAB III
PENUTUP
Hadist diatas yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa ada salah satu sahabat yang menceraikan
istrinya tetapi dalam keadaan haid, maka permasalahan itu di laporkan oleh Umar
kepada Rasul. Maka Rasul berabda temui dia Terus suruh rujuk kembali, tunggu ia
sampai suci. Dan Hadits ini adalah hadits shohih dan sanadnya muttashil, dan
rawinya tsiqqah.
Biografi Rowi
·
Abdullah Bin Umar Nama lengkapnya adalah Abdullah
Ibnu Umar Ibnu Khattab Al-Quraisyi Al-Adawi Abu Abdurrahman Al-Makki Al-Madani.
Beliau dilahirkan sebelum Nabi diutus menjadi Rasul.
·
Abu Abdillah Nafi’ hamba sahaya Umar Al-Madaniy.
Beliau berdomisili di Madinah, dan wafat di sana pada tahun 117 H. Nafi’
termasuk dalam kalangan al-wasthi al-tabi’in.
·
Abu Abdillah Malik bin Anas bin Abi Amir al-Asbihi
al-Humaiari. Beliau termasuk diantara golongan kibar al-tabi’in, dan bermukim
di Madinah serta wafat di Madinah juga pada tahun 179 H.
·
Abu Abdirrahman Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab
al-Qa’nabi al-Haritsi. Beliau bertempat tinggal di Madinah, dan wafat di Basrah
pada tahun 221 H. Beliau termasuk dalam periode shughra al-atba’.
Rukun ruju'
·
Isteri
·
Suami
·
Saksi
·
Sighat
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,
Rahmat. Hukum Perkawinan Islam.(Bandung: CV Pustaka Setia,000).
Mugniyah,
Muhammmad Jawad, Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: Lentera)